Diterjemahkan dari bahasa Pali oleh Bhikkhu Bodhi
I. SUB BAB PERTAMA
(SUVĪRA)
1 (1) Suvīra
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!” “Yang Mulia!” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, para asura bergerak dalam barisan perang melawan para dewa.605 Kemudian Sakka, raja para deva, berkata kepada deva muda Suvīra, sebagai berikut: ‘Suvīra, para asura ini bergerak dalam barisan perang melawan para deva. Pergilah, Suvīra, kerahkan barisan melawan para asura.’—‘Baik, Baginda,’ Suvīra menjawab, namun ia lalai.606 Untuk ke dua kalinya, Sakka berkata kepada Suvīra … <467> … namun untuk ke dua kalinya, Suvīra lalai. Untuk ke tiga kalinya, Sakka berkata kepada Suvīra … namun untuk ke tiga kalinya, Suvīra lalai. [217] Kemudian, Para bhikkhu, Sakka berkata kepada Suvīra dalam syair:
858. ”’Di mana seseorang tidak bekerja keras dan berusaha Namun masih dapat mencapai kebahagiaan: Pergilah, Suvīra, Dan bawa aku bersamamu.’
[Suvīra:]859. “‘Bahwa seorang malas yang tidak bekerja keras Tidak melakukan kewajibannya Masih dapat memenuhi semua keinginannya: Berikan aku itu, Sakka, sebagai anugerah.’607 <468>
[Sakka:]860. “‘Di mana seorang malas yang tidak bekerja keras Dapat mencapai kebahagiaan tanpa akhir: Pergilah, Suvīra, Dan bawa aku bersamamu.’
[Suvīra:]861. “‘Kebahagiaan itu, deva tertinggi, akan kami temukan Tanpa melakukan pekerjaan, O, Sakka, Keadaan tanpa kesedihan, tanpa keputusasaan: Berikan aku itu, Sakka, sebagai anugerah.’
[Sakka:]862. “‘Jika terdapat tempat apa pun Di mana tanpa bekerja seseorang tidak merosot, Itu sesungguhnya adalah jalan Nibbāna: Pergilah, Suvīra, Dan bawa aku bersamamu.’608
“Demikianlah, Para bhikkhu, jika Sakka, raja para deva, hidup dari buah kebajikannya sendiri, <469> menjalankan kekuasaan dan pemerintahan tertinggi atas para deva Tāvatiṃsa, menjadi seorang yang memuji inisiatif dan usaha, maka seberapa layaknya hal ini bagi kalian,609 yang telah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan sedemikian baik, untuk bekerja keras, berusaha dan berupaya demi pencapaian apa-yang-belum-dicapai, demi memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, demi penembusan apayang-belum-ditembus.”
2 (2) Susīma
(Sutta ini serupa dengan sutta sebelumnya, dengan pengecualian bahwa deva muda itu bernama Susīma. Syair 863-67 = 858-62.) [218] <470-72>
3 (3) Bendera
Di Sāvatthī. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”610 “Yang Mulia!” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, para deva dan para asura sedang bersiap-siap untuk suatu pertempuran. Kemudian Sakka, raja para deva berkata kepada para deva Tāvatiṃsa sebagai berikut: ‘Teman-teman, ketika para deva terlibat dalam peperangan, [219] jika ketakutan atau keraguan atau teror muncul, pada saat itu, kalian harus melihat benderaku. Karena ketika kalian melihat benderaku, apa pun ketakutan atau keraguan atau teror yang kalian alami akan lenyap.”611 “Jika kalian tidak melihat benderaku, maka kalian harus melihat bendera Raja-Deva Pajāpati. Karena ketika kalian melihat benderanya, apa pun ketakutan atau keraguan atau teror yang kalian alami akan lenyap.” “Jika kalian tidak melihat bendera Raja-Deva Pajāpati, maka kalian harus melihat bendera Raja-Deva Varuṇa…. Jika kalian tidak melihat bendera Raja-Deva Varuṇa, maka kalian harus melihat bendera RajaDeva Īsāna…. Karena ketika kalian melihat benderanya, apa pun ketakutan atau keraguan atau teror yang kalian alami akan lenyap.”612 <473> “Para bhikkhu, bagi mereka yang melihat bendera Sakka, raja para deva; atau Pajāpati, raja-deva; atau Varuṇa, raja-deva, atau Īsāna, rajadeva, apa pun ketakutan atau keraguan atau teror yang mereka alami akan atau tidak akan lenyap. Karena alasan apakah? Karena Sakka, raja para deva, tidak terbebas dari nafsu, tidak terbebas dari kebencian, tidak terbebas dari kebodohan; ia mungkin merasa tidak percaya diri, takut, ngeri, cepat melarikan diri.” “Tetapi, Para bhikkhu. Aku mengatakan ini: jika kalian pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, dan ketakutan atau keraguan atau teror muncul dalam diri kalian, pada saat itu, kalian harus mengingat Aku sebagai berikut: ’Sang Bhagavā adalah Arahanta, Tercerahkan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, Bahagia, Pengenal seluruh alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang patut dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā.’ Karena ketika kalian mengingat Aku, Para bhikkhu, apa pun ketakutan atau keraguan atau teror yang kalian alami akan lenyap.” [220] “Jika kalian tidak mengingatKu, maka kalian seharusnya mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, seketika, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat dipraktikkan, untuk dialami sendiri oleh para bijaksana.’ Karena ketika kalian mengingat Dhamma, Para bhikkhu, apa pun ketakutan atau keraguan atau teror yang kalian alami akan lenyap.” “Jika kalian tidak mengingat Dhamma, maka kalian seharusnya mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, <474> mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang semestinya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu— Saṅgha siswa Sang Bhagavā ini adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahtamahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang tanpa bandingan di dunia ini untuk menanam jasa.’ Karena ketika kalian mengingat Saṅgha, Para bhikkhu, apa pun ketakutan atau keraguan atau teror yang kalian alami akan lenyap.” “Karena alasan apakah? Karena, Para bhikkhu, Sang Tathāgata, Sang Arahanta, Yang Tercerahkan Sempurna terbebas dari nafsu, terbebas dari kebencian, terbebas dari kebodohan; Beliau berani, tegas, siap berdiri di tempat-Nya.” Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih jauh lagi mengatakan sebagai berikut:
868. “Di dalam hutan, di bawah pohon, Atau di gubuk kosong, O, Para bhikkhu, Kalian harus mengingat Sang Buddha: Tidak akan ada ketakutan yang muncul dalam diri kalian.
869. “Tetapi jika kalian tidak mengingat Sang Buddha, Yang terbaik di dunia, banteng para manusia, Maka kalian harus mengingat Dhamma, Yang membebaskan, yang telah dibabarkan dengan sempurna.
870. “Tetapi jika kalian tidak mengingat Dhamma, Yang membebaskan, yang telah dibabarkan dengan sempurna, Maka kalian harus mengingat Saṅgha, Ladang tanpa bandingan di dunia ini untuk menanam jasa. <475>
871. “Karena bagi mereka yang mengingat Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, Para bhikkhu, Tidak ada ketakutan atau keraguan akan muncul, Juga tidak ada teror yang mengerikan.”
4 (4) Vepacitti (atau Kesabaran)
Di Sāvatthī. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [221] “Suatu ketika di masa lampau, para deva dan para asura sedang bersiap-siap untuk suatu pertempuran. Kemudian Vepacitti, raja para asura, berkata kepada para asura sebagai berikut:613 ‘Temanteman, dalam perang yang akan segera terjadi antara para deva dan para asura, <476> jika para asura menang dan para deva kalah, ikat Sakka, raja para deva, pada empat anggota tubuhnya dan lehernya dan bawa kepadaku di kota para asura.’ Dan Sakka, raja para deva, berkata kepada para deva Tāvatiṃsa sebagai berikut: ‘Teman-teman, dalam perang yang akan segera terjadi antara para deva dan para asura, jika para deva menang dan para asura kalah, ikat Vepacitti, raja para asura, pada empat anggota tubuhnya dan lehernya dan bawa kepadaku di aula pertemuan Suddhamma.’”
“Dalam perang itu, Para bhikkhu, para deva menang dan para asura kalah. Maka para deva Tāvatiṃsa mengikat Vepacitti pada empat anggota tubuhnya dan lehernya dan membawanya ke hadapan Sakka di aula pertemuan Suddhamma.614 Ketika Sakka sedang memasuki dan meninggalkan aula pertemuan Suddhamma, Vepacitti, terikat keempat anggota tubuh dan lehernya, menghina dan mencercanya dengan katakata kasar. Kemudian, Para bhikkhu, Mātali, si kusir berkata kepada Sakka, raja para deva, dalam syair:
872. “’Ketika berhadapan secara langsung dengan Vepacitti Apakah, Maghavā, karena takut atau lemah <477> Engkau menahannya dengan begitu sabar, Mendengarkan kata-kata kasarnya?’
[Sakka:]873. “’Bukan karena takut atau lemah Aku bersabar terhadap Vepacitti. Bagaimana mungkin seorang bijaksana sepertiku Terlibat pertempuran dengan si dungu?’
[Mātali:]874. “’Si dungu akan lebih banyak lagi melepaskan kemarahannya Jika tidak ada seorang pun yang melawannya. Karena itu, dengan hukuman drastis Sang bijaksana seharusnya mengendalikan si dungu.’615
[Sakka:]875. “’Ini adalah gagasanku sendiri Cara untuk melawan si dungu adalah: Ketika seseorang mengetahui bahwa musuhnya marah Maka ia harus dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaian.’
[Mātali:]876. “’Aku melihat cacat ini, O, Vāsava, Dalam melatih menahan kesabaran: Jika si dungu berpikir bahwa engkau sebagai, “Ia menahan sabar karena takut,” <478> Si tolol akan lebih jauh lagi mengejarmu Seperti yang dilakukan sapi kepada seseorang yang melarikan diri.’ [222] [Sakka:]
877. “’Biarlah apa pun yang ia pikirkan atau tidak pikirkan, “Ia menahan sabar karena takut,” Di antara tujuan yang berpuncak dalam kesejahteraan seseorang Tidak ada ditemukan yang lebih baik daripada kesabaran.616
878. “’Ketika seseorang memiliki kekuatan Dengan sabar menghadapi yang lemah, Mereka menyebutnya kesabaran tertinggi; Yang lemah harus selalu sabar.617
879. “’Mereka menyebut kekuatan itu sebagai tidak ada kekuatan sama sekali— Kekuatan yang merupakan kekuatan si dungu— Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mencela seseorang Yang kuat karena dijaga oleh Dhamma.618
880. “’Seseorang yang membalas kemarahan orang lain dengan kemarahan Dengan demikian membuat lebih buruk bagi dirinya sendiri. Tidak membalas kemarahan orang lain dengan kemarahan, <479> Ia memenangkan pertempuran yang sulit dimenangkan.’
881. “’Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak, Kesejahteraannya dan orang lain, Ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah, Ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.
882. “‘Ketika ia mencapai penyembuhan bagi keduanya— Untuknya dan orang lain— Orang-orang yang menganggapnya dungu Adalah tidak terampil dalam Dhamma.’
“Demikianlah, Para bhikkhu, jika Sakka, raja para deva, hidup dari buah kebajikannya sendiri, menjalankan kekuasaan dan pemerintahan tertinggi atas para deva Tāvatiṃsa, menjadi seorang yang memuji kesabaran dan kelembutan, maka seberapa layaknya hal ini bagi kalian, yang telah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan sedemikian baik, untuk menjadi sabar dan lembut.”
5 (5) Kemenangan dengan Nasihat yang Disampaikan dengan Baik
<480> Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, para deva dan para asura sedang bersiap-siap untuk suatu pertempuran. Kemudian Vepacitti, raja para asura, berkata kepada Sakka, raja para deva: ‘Raja deva, biarlah kemenangan ditentukan oleh nasihat yang diucapkan dengan baik.’ [Dan Sakka menjawab]: ‘Vepacitti, biarlah kemenangan ditentukan oleh nasihat yang diucapkan dengan baik.’” “Kemudian, Para bhikkhu, para deva dan para asura menunjuk suatu panel hakim, dan berkata: ‘orang-orang ini akan memastikan apa yang diucapkan dengan baik dan apa yang diucapkan dengan buruk oleh kita.’” “Kemudian Vepacitti, raja para asura, berkata kepada Sakka, raja para deva: ‘Ucapkan sebuah syair, Raja para deva.’ Ketika hal ini dikatakan, Sakka berkata kepada Vepacitti; ‘Engkau, Vepacitti, sebagai deva senior di sini, ucapkanlah sebuah syair.’”619 [223] Ketika ini dikatakan, Vepacitti, raja para asura, melantunkan syair:”620
883. “‘Si dungu akan lebih banyak lagi melepaskan kemarahannya Jika tidak ada seorang pun yang melawannya. Karena itu, dengan hukuman drastis Sang bijaksana seharusnya mengendalikan si dungu.’”
“Ketika, Para bhikkhu, Vepacitti, raja para asura, mengucapkan syair ini, para asura bersorak namun para deva diam. Kemudian Vepacitti berkata kepada Sakka: ‘Ucapkan sebuah syair, Raja para deva.’ Ketika ini dikatakan, Sakka, raja para deva, melantunkan syair ini:
884. “’Ini adalah gagasanku sendiri <481> Cara untuk melawan si dungu adalah: Ketika seseorang mengetahui bahwa musuhnya marah Maka ia harus dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaian.’
“Ketika, Para bhikkhu, Sakka, raja para deva, mengucapkan syair ini, para deva bersorak namun para asura diam. Kemudian Sakka berkata kepada Vepacitti: ‘Ucapkan sebuah syair, Vepacitti.’ Ketika ini dikatakan, Vepacitti, raja para asura, melantunkan syair ini:
885. “’Aku melihat cacat ini, O, Vāsava, Dalam melatih menahan kesabaran: Jika si dungu berpikir bahwa engkau sebagai, “Ia menahan sabar karena takut,” Si tolol akan lebih jauh lagi mengejarmu Seperti yang dilakukan sapi kepada seseorang yang melarikan diri.’
“Ketika, Para bhikkhu, Vepacitti, raja para asura, mengucapkan syair ini, para asura bersorak namun para deva diam. Kemudian Vepacitti berkata kepada Sakka: ‘Ucapkan sebuah syair, Raja para deva.’ Ketika ini dikatakan, Sakka, raja para deva, melantunkan syair ini:
886-91. “’Biarlah apa pun yang ia pikirkan atau tidak pikirkan, … (syair – 877-82) … [224] <482> Adalah tidak terampil dalam Dhamma.’
“Ketika, Para bhikkhu, Sakka, raja para deva, mengucapkan syairsyair ini, para deva bersorak namun para asura diam. Kemudian panel hakim yang ditunjuk oleh para deva dan para asura berkata: ‘Syairsyair yang diucapkan oleh Vepacitti, raja para asura, adalah dalam lingkup hukuman dan kekerasan; karenanya [menyebabkan] konflik, perdebatan, dan perselisihan. Tetapi syair-syair yang diucapkan oleh Sakka, raja para deva, <483> adalah dalam lingkup bukan-hukuman dan bukan-kekerasan; karenanya [menyebabkan] kebebasan dari konflik, kebebasan dari perdebatan, dan kebebasan dari perselisihan. Sakka, raja para deva, telah menang dengan nasihat yang diucapkan dengan baik.’ “Demikianlah, Para bhikkhu, Sakka, raja para deva, menang dengan nasihat yang diucapkan dengan baik.”
6 (6) Sarang-sarang Burung
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, para deva dan para asura sedang bersiap-siap untuk suatu pertempuran. Dalam peperangan itu, para asura menang dan para deva kalah. Dalam kekalahan itu, para deva mundur ke utara sedangkan para asura mengejar mereka. Kemudian Sakka, raja para deva, berkata kepada kusirnya Mātali dalam syair:
892. “’Hindari, O, Mātali, dengan galak keretamu Sarang-sarang burung dalam hutan-hutan pohon kapuk; Biarlah kita menyerahkan hidup kita kepada para asura <484> Daripada membuat burung-burung ini kehilangan sarang.’621
“’Baik, Baginda,’ Mātali si kusir menjawab, dan ia memutar balik keretanya bersama dengan barisan seribu ekor kuda berdarah murni. “Kemudian, Para bhikkhu, para asura itu berpikir: ‘Sekarang kereta Sakka dengan barisan seribu kuda berdarah murni berbalik. [225] Para deva akan menghadapi pertempuran dengan para asura untuk ke dua kalinya.’ Diserang oleh ketakutan, mereka memasuki kota para asura. Demikianlah, Para bhikkhu, Sakka, raja para deva, menang hanya dengan kebajikan.”
7 (7) Seseorang Seharusnya Tidak Melanggar
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika Sakka, raja para deva, sedang sendirian dalam keheningan, perenungan berikut ini muncul dalam pikirannya: ‘Walaupun seseorang adalah musuhku, aku tidak boleh melawannya.’ “Kemudian, Para bhikkhu, Vepacitti, raja para asura, <485> setelah dengan pikirannya mengetahui perenungan dalam pikiran Sakka, mendekati Sakka, raja para deva. Dari jauh, Sakka melihat kedatangan Vepacitti dan berkata kepadanya: ‘Berhenti, Vepaciti, engkau tertangkap!’622 – ‘Tuan, jangan abaikan gagasan yang baru saja muncul dalam benakmu.’623 – ‘Bersumpahlah, Vepacitti, bahwa engkau tidak akan melawanku.’
[Vepacitti:]893. ‘“Kejahatan apa pun yang muncul dalam diri seorang pembohong, Kejahatan apa pun yang muncul dalam diri seorang penghina para mulia, Kejahatan apa pun yang muncul dalam diri seorang pengkhianat para sahabat, Kejahatan apa pun yang muncul dalam diri seseorang yang tidak tahu berterima kasih: Kejahatan yang sama akan menghampirinya Siapakah yang melawanmu, Suami Sujā.’”624
8 (8) Verocana, Raja para Asura
Di Sāvatthī, di Hutan Jeta. Pada saat itu, Sang Bhagavā sedang melewatkan hari-Nya dan sedang berada dalam keheningan. Kemudian Sakka, <486> raja para deva, dan Verocana, raja para asura, mendekati Sang Bhagavā dan masing-masing berdiri di tiang pintu. Kemudian Verocana, Raja para asura, melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:625
894. “Seseorang harus berusaha Hingga tujuannya tercapai. Tujuan bersinar ketika dicapai: Ini adalah kata-kata Verocana.” [226] [Sakka:]
895. “Seseorang harus berusaha Hingga tujuannya tercapai. Tujuan bersinar ketika dicapai, Tidak ada ditemukan yang lebih baik daripada kesabaran.”626
[Verocana:]896. “Semua makhluk condong pada suatu tujuan Di sana atau di sini sesuai situasinya, Tetapi semua pergaulan makhluk-makhluk Adalah yang tertinggi di antara kenikmatan-kenikmatan. Tujuan bersinar ketika dicapai: Ini adalah kata-kata Verocana.”627 <487>
[Sakka:]897. “Semua makhluk condong pada suatu tujuan Di sana atau di sini sesuai situasinya, Tetapi semua pergaulan makhluk-makhluk Adalah yang tertinggi di antara kenikmatan-kenikmatan. Tujuan bersinar ketika dicapai, Tidak ada ditemukan yang lebih baik daripada kesabaran.”
9 (9) Para Petapa di Sebuah Hutan
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, sejumlah petapa yang bermoral dan bersikap baik bertempat tinggal di gubukgubuk daun, di sebidang tanah, di dalam hutan. Kemudian Sakka, raja para deva, dan Vepacitti, raja para asura, mendekati para petapa itu.” “Vepacitti, raja para asura, mengenakan sepatunya, mengikat erat pedangnya, dan dengan memegang payung tinggi di atasnya, memasuki petapaan melalui gerbang utama; Kemudian, setelah menghadapkan sisi kirinya ke arah mereka,628 ia berjalan melewati para petapa itu yang bermoral dan bersikap baik. Tetapi Sakka, raja para deva, melepaskan sepatunya, menyerahkan pedangnya kepada orang lain, <488> menurunkan payungnya, dan memasuki petapaan melalui gerbang [biasa], kemudian ia berdiri di tempat teduh, merangkapkan tangan sebagai penghormatan, menghormati para petapa itu yang bermoral dan bersikap baik.”
“Kemudian, Para bhikkhu, para petapa itu berkata kepada Sakka dalam syair:
898. “’Aroma para petapa terikat pada sumpah mereka, Terpancar dari tubuh mereka, terbang bersama angin. Berbaliklah dari sini, O, Deva bermata seribu, Karena aroma para petapa ini menjijikkan, O, Raja-deva.’629
[Sakka:]899. “’Biarlah aroma para petapa terikat pada sumpah mereka, Terpancar dari tubuh mereka, terbang bersama angin. Kami menyukai aroma ini, O, yang terhormat, Bagaikan karangan bunga di kepala. [227] Para deva tidak menganggapnya menjijikkan.’”630 <489> 10
(10) Para Petapa di Tepi Samudra
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, sejumlah petapa yang bermoral dan bersikap baik menetap di gubuk-gubuk daun di tepi samudra. Pada saat itu, para deva dan para asura sedang bersiap-siap untuk suatu pertempuran. Kemudian para petapa yang bermoral dan bersikap baik itu berpikir: ‘Para deva adalah baik dan para asura adalah tidak baik. Mungkin akan berbahaya bagi kami. Kami akan mendekati Sambara, raja para asura, dan memohon jaminan keselamatan.’”631 “Kemudian, Para bhikkhu, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, para petapa itu yang bermoral dan bersikap baik itu lenyap dari gubuk-gubuk daun di sepanjang pantai dan muncul kembali di hadapan Sambara, raja para asura. Kemudian para petapa itu berkata kepada Sambara dalam syair:
900. “’Para petapa yang telah menghadap Sambara Memohon jaminan keselamatan darinya. <490> Karena engkau dapat memberikan kepada mereka apa yang engkau inginkan, Apakah itu adalah bencana atau keselamatan.’632
[Sambara:]901. “’Aku tidak akan memberikan keselamatan kepada para petapa, Karena mereka membenci para penyembah Sakka; Walaupun engkau memohon keselamatan kepadaku, Aku hanya akan memberikan bencana.’
[Para petapa:]902. “’Walaupun kami memohon keselamatan kepadamu, Engkau hanya memberikan bencana kepada kami. Kami menerima ini dari tanganmu: Semoga bencana tanpa akhir menghampirimu!
903. “’Apa pun benih yang ditanam, Itulah buah yang akan dipetik; Pelaku kebaikan memetik kebaikan; Pelaku kejahatan memetik kejahatan.’ Olehmu, Teman, benih telah ditanam; Dengan demikian, engkau akan mengalami buahnya.’
“Kemudian, Para bhikkhu, setelah mengutuk Sambara, raja para asura, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, para petapa itu yang bermoral dan bersikap baik itu lenyap dari hadapan Sambara dan muncul kembali di gubuk-gubuk daun mereka di tepi samudra. [228] Tetapi setelah dikutuk oleh para petapa yang bermoral dan bersikap baik itu, Sambara, raja para asura, dicengkeram oleh ketakutan di sepanjang malam itu.”633 <492>