No. 218
KŪṬA-VĀṆIJA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Terencana dengan baik,” dan seterusnya. [181] Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang saudagar yang tidak jujur.
Terdapat dua saudagar di Sāvatthi, yang satu bijak dan yang satunya lagi penipu. Kedua orang ini bergabung dalam persekutuan dagang dan mengisi lima ratus kereta penuh dengan barang, melakukan perjalanan dari timur ke barat untuk berdagang, dan kembali ke Sāvatthi dengan keuntungan yang besar.
Saudagar bijak mengusulkan kepada teman dagangnya bahwa mereka seharusnya membagi persediaan barang jualan mereka. Si curang ini berpikir dalam hatinya, “Orang ini telah bersusah dalam waktu yang lama dengan makanan dan tempat tinggal yang buruk. Sekarang dia sudah pulang ke rumah, dia akan memakan berbagai makanan lezat dan mati karena kekenyangan. Dengan demikian, saya akan memiliki semua persediaan barang untukku sendiri.” Apa yang kemudian dikatakannya adalah, “Baik bintang maupun hari tidak mendukung; kita lihat saja besok atau hari berikutnya.” Demikianlah dia terus berdalih.
Tetapi, si bijak terus mendesaknya dan (akhirnya) membuat barang-barang tersebut dibagi. Kemudian saudagar bijak ini pergi, dengan membawa wewangian dan untaian bunga, untuk mengunjungi Sang Guru. Setelah memberi hormat, dia duduk di satu sisi. Sang Guru menanyakan sejak kapan dia pulang. “Dua minggu yang lalu, Guru,” katanya. “Kalau begitu, mengapa Anda menunda untuk mengunjungi Buddha?” Saudagar itu menjelaskannya. Kemudian Sang Guru berkata, “Bukan hanya kali ini, temanmu adalah orang yang curang, tetapi dia juga begitu sebelumnya,” dan atas permintaannya, Beliau menceritakan kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari seorang pejabat istana raja. Ketika tumbuh dewasa, dia diangkat sebagai hakim pengadilan.
Kala itu terdapat dua orang saudagar, yang satu dari desa dan satunya lagi dari kota, mereka bersahabat. Saudagar desa menitipkan lima ratus mata bajak ke saudagar kota itu. Saudagar kota ini menjual semua barang tersebut dan menyimpan uangnya.
Di tempat mata bajak itu sebelumnya disimpan, dia menaburkan kotoran tikus. Setelah beberapa waktu, saudagar desa datang dan menanyakan mata bajaknya. “Tikus-tikus telah memakan habis semuanya!” kata si penipu, menunjukkan kotoran tikus itu kepadanya.
“Baiklah, kalau begitu, biarlah,” jawabnya: “apa yang bisa diperbuat dengan barang-barang yang telah dimakan tikus?”
Dan pada waktu mandi, saudagar desa itu membawa putra saudagar kota dan menitipkannya di rumah seorang teman, dalam sebuah kamar sebelah dalam, meminta mereka untuk tidak membiarkannya pergi ke mana pun juga. [182] Dan setelah mandi, dia pergi ke rumah temannya.
“Di mana putraku?” tanya si penipu.
“Teman,” jawabnya, “saya membawanya bersama dan meninggalkannya di tepi sungai. Ketika saya masuk ke dalam air, datang seekor burung elang dan menangkap putramu dengan cakarnya, kemudian terbang ke udara. Saya memukul-mukul air, berteriak, berjuang—tetapi tidak dapat membuatnya melepaskannya.”
“Bohong!” teriak si penipu, “tidak ada burung elang yang dapat membawa pergi seorang anak laki-laki.”
“Teman, relakanlah. Jika sesuatu yang tidak seharusnya terjadi telah terjadi, apa lagi yang dapat kulakukan? Putramu telah dibawa pergi oleh seekor burung elang, seperti yang saya katakan.”
Saudagar kota mencacinya, “Penjahat! Pembunuh! Sekarang saya akan pergi ke hakim dan membuatmu diseret di hadapannya!” Dan dia pun berangkat.
Saudagar desa berkata, “Silakan saja,” dan pergi juga ke pengadilan. Si jahat menceritakan kepada Bodhisatta demikian, “Tuan, orang ini membawa anakku pergi bersamanya untuk mandi, dan ketika saya menanyakan keberadaan putraku, dia menjawab bahwa seekor burung elang telah membawanya pergi. Adililah perkaraku ini!”
“Katakanlah yang sebenarnya,” kata Bodhisatta, meminta kepada yang satunya lagi.
“Sungguh, Tuan,” dia menjawab, “saya membawanya bersamaku dan burung elang membawanya pergi.”
“Tetapi mana ada burung elang yang membawa pergi anak-anak?
“Tuan,” jawabnya, “saya memiliki sebuah pertanyaan untukmu. Jika burung elang tidak membawa anak-anak pergi, apakah tikus dapat memakan mata bajak besi?”
“Apa maksudmu?”
“Tuan, saya menitipkan lima ratus mata bajak di rumah orang ini. Orang ini menceritakan kepadaku bahwa tikus-tikus telah melahapnya dan menunjukkan kepada saya kotoran tikus-tikus yang telah melakukannya. Tuan, jika tikus-tikus memakan mata bajak, maka burung-burung elang membawa pergi anak-anak; tetapi jika tikus tidak dapat melakukannya, begitu juga burung-burung elang tidak dapat membawa anak-anak. Orang ini mengatakan tikus-tikus telah memakan mata bajakku. Berikanlah jawaban apakah mata bajak dimakan atau tidak. [183] Adililah perkaraku!”
“Dia pasti mempunyai maksud,” pikir Bodhisatta, “untuk melawan si penipu dengan senjatanya sendiri.—“Terencana dengan baik!” katanya, dan kemudian dia mengucapkan dua bait berikut:—
[184] Demikian orang yang kehilangan putra mendapatkan putranya kembali, dan orang yang kehilangan mata bajak menerima mata bajaknya kembali. Setelah itu, keduanya meninggal dunia menerima hasil (buah perbuatan) sesuai dengan perbuatan mereka.Terencana dengan baik memang! Penggigit digigit,
Penipu ditipu—sebuah pukulan yang manis!
Jika tikus-tikus memakan mata bajak,
maka burung-burung elang dapat terbang
dengan anak-anak ke udara!Seorang yang jahat dikalahkan dengan kejahatan!
Kembalikan bajak itu, dan setelah itu
orang yang kehilangan bajak mungkin
akan mengembalikan putramu kepada Anda sekarang juga!
____________________
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Kedua penipu dalam kedua kejadian ini adalah orang yang sama, dan begitu juga yang bijak; Aku sendiri adalah hakim pengadilan.”