PENDAHULUAN II
Ajaran Sang Buddha
di dalam Angutara Nikaya
Di dalam Pendahuluan I, saya telah menunjukkan bagaimana Angutara Nikaya masuk dalam kelompok kitab Buddhis Theravada. Secara ringkas telah saya jelaskan bagaimana kitab ini membantu menekankan pesan Sang Buddha. Di bagian berikut ini saya bermaksud membimbing para pembaca melalui liku-liku sutta yang terdapat di antologi ini, dengan memberikan peta berupa garis besar skematis mengenai Ajaran Sang Buddha. Berulang kali saya akan kembali pada teks di antologi ini untuk mengisi garis besar itu, sehingga posisi mereka tergambar di dalam seluruh sistem keseluruhannya yang memang luas. Teks yang diacu akan ditunjukkan dengan nomor di dalam tanda kurung.
Tetapi sebelum kita berpaling ke Ajaran itu sendiri, beberapa kata diperlukan mengenai pengajarnya, yaitu Sang Buddha. Kata “Buddha” bukanlah suatu nama pribadi melainkan gelar penghormatan yang berarti “Yang Telah Tercerahkan”, atau “Yang Telah Sadar”. Gelar itu digunakan untuk seorang petapa India kuno dari keluarga Gotama yang nama pribadinya, menurut tradisi, adalah Siddhattha.19 Gelar kehormatan itu tidak diperolehnya pada saat kelahiran. Baru pada pencapaian pencerahan spiritualnya, yang terjadi pada usia ke 35, Beliau memperoleh gelar itu. Sebelum pencapaian itu, beliau menyebut dirinya bodhisatta (Sanskerta: bodhisattva), yaitu pencari pencerahan spiritual. Di dalam teks, oleh orang-orang sezamannya, Beliau disebut samana Gotama “petapa Gotama”, sedangkan di antara para pengikut Beliau dikenal sebagai bhagava, “Yang Terberkati”.
Manusia yang kemudian menjadi nenek moyang Buddhisme ini dilahirkan di antara suku Sakya, suku pejuang yang negaranya berada di kaki gunung Himalaya yang sekarang berada di Nepal selatan. Walaupun tahun kehidupannya tidak diketahui kepastiannya, perkiraan yang diterima oleh banyak ilmuwan adalah 566-486 SM. Suku Sakya termasuk kelas kshatriya, para bangsawan dan administrator di dalam sistem sosial India yang kaku. Walaupun di kemudian hari legenda menggambarkan Gotama sebagai anak seorang raja, teks yang paling kuno sendiri menunjukkan negeri Sakya adalah republik aristokrat, sehingga ayahnya mungkin adalah kepala dewan tetua yang berkuasa.
Sang Buddha memberitahukan bahwa beliau dibesarkan di dalam kemewahan, dengan tiga istana, satu untuk setiap musim di tahun India. Pada usia 16 beliau dinikahkan dengan seorang putri raja bernama Yasodhara dan memiliki putra yang diberi nama Rahula. Walaupun pangeran Siddhattha menikmati semua kesenangan dan hak istimewa karena kedudukannya yang tinggi, di masa mudanya beliau mengalami hal yang mengejutkan karena bertemu dengan penderitaan kehidupan, “utusan agung”, yaitu usia tua, penyakit, dan kematian (26, 27). Hal ini menghancurkan kepuasan duniawinya dan mendorongnya untuk mencari jalan menuju pembebasan. Maka pada suatu malam, pada usia ke 29, beliau menyelinap keluar dari ibukota kerajaan dan masuk hutan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang petapa, bertekad untuk mencari jalan agar terbebas dari penderitaan kehidupan. Selama enam tahun beliau bereksperimen dengan berbagai macam sistem meditasi dan menjalankan penyiksaan diri yang sangat keras, tetapi beliau mendapati bahwa metode-metode ini tidak membawanya pada tujuan yang sedang dicarinya. Akhirnya, pada usia ke 35, pada waktu bermeditasi di suatu tempat yang indah di dekat sungai Neranjara, beliau mencapai pencerahan spiritual tertinggi dan menjadi Yang Tercerahkan. Sesudahnya, selama 45 tahun, Beliau berkelana ke seluruh dataran sungai Gangga, menyampaikan kebenaran yang Beliau temukan dan mendirikan Sangha, komunitas bhikkhu dan bhikkhuni, untuk meneruskan pesan Beliau. Pada usia 80, dengan dikelilingi para siswa, Beliau wafat dengan tenang di dekat sebuah kota kecil bernama Kusinara.
Sang Buddha tidak menyatakan diri sebagai penjelmaan agung atau nabi yang dikirim untuk umat manusia oleh Tuhan. Beliau menyatakan diri sebagai Yang Sadar- manusia yang dengan usaha dan pandangan terangnya sendiri, telah sampai pada pencapaian spiritual tertinggi yang mampu dicapai manusia: kebijaksanaan sempurna, pemurnian total, dan pembebasan dari semua penderitaan (58). Sehubungan dengan umat manusia, fungsinya adalah sebagai guru dunia yang dengan penuh kasih sayang menunjukkan pada orang-orang jalan menuju Nibbana (Skt: Nirvana), jalan keluar yang sama dari penderitaan, yang telah Beliau capai sendiri.
Ajaran Sang Buddha disebut Dhamma (Skt: Dharma). Banyak sekali arti yang terkandung di dalam kata ini, tetapi di dalam pengertian yang paling mendasar, kata ini berarti prinsip kebenaran tertinggi dan realitas, sebagaimana telah diketemukan Sang Buddha pada malam pencerahan spiritual Beliau. Setelah sepenuhnya menembus Dhamma sampai ke segala unsurnya, tugas yang ditentukan oleh Sang Buddha untuk diri Beliau sendiri adalah untuk membabarkan Dhamma, menjelaskannya dan mengungkapkannya pada dunia (48). Karena Ajaran Sang Buddha mengungkapkan sifat sejati dari segala hal, hukum-hukum kehidupan yang fundamental, maka Ajaran itu juga disebut Dhamma. Di dalam teks, seringkali Sang Buddha mengacu pada Ajarannya sebagai Dhamma dan Disiplin (dhamma-vinaya). Jika ungkapan ganda ini digunakan, “Dhamma” berarti aspek doktrin, perumusan konsep mengenai kebenaran tentang keberadaan, sementara “Disiplin” menyatakan hubungannya yang praktis – tidak hanya aturan monastik (arti lain vinaya) melainkan seluruh sistem latihan yang menuju tercapainya tujuan akhir. Sang Buddha mengajarkan Dhamma dan Vinaya secara bebas dan terbuka, karena seperti matahari dan bulan, kebenaran bersinar bila diungkapkan, bukan bila ditutupi (47). Tidak pernah Beliau berusaha memaksakan kewenangan kepada orang lain, tetapi dengan lembut Beliau menunjukkan prinsip-prinsip yang telah Beliau lihat dengan cara yang paling cocok untuk pendengarnya; kemudian Beliau membiarkan Dhamma untuk meyakinkan lewat dorongan kekuatan Dhamma itu sendiri. Dhamma dapat melakukan demikian karena “Dhamma indah di awal, indah di tengah, indah di akhir (36)”. Di awalnya, Dhamma memberikan garis pembimbing tanpa cela untuk perilaku yang benar dan kehidupan yang bajik; di tengah, Dhamma menunjukkan jalan menuju ketenangan mental dan pandangan terang; dan di akhir, Dhamma memuncak pada kebijaksanaan dan kedamaian tertinggi.
Sang Buddha tidak mengarahkan perhatian kita ke luar dan ke atas menuju Tuhan yang maha tinggi yang harus dicintai, dipuja dan dipatuhi. Sebaliknya, fokus Ajaran Sang Buddha ada pada aktualitas, sifat sejati segala sesuatu, yang harus dilihat dan dipahami. Bagi Sang Buddha, pembebasan datang dari pemahaman, dari kebijaksanaan, dan apa yang harus dipahami itu justru kehidupan kita sendiri. Walaupun amat dekat, kebenaran tentang kehidupan kita sendiri ini telah terselubungi kegelapan yang pekat, kegelapan yang amat tebal, sehingga hanya Yang Telah Sepenuhnya Tercerahkan saja yang dapat menghalaunya dan menyinari sifat sejatinya “bagaikan manusia yang memegang lampu di dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat bentuk” (34).
Kerangka Ajaran Sang Buddha berangkat dari perumusan Empat Kebenaran Mulia.20 Empat kebenaran ini bukan suatu sistem dogma yang harus disetujui di dalam iman, melainkan suatu diagnosis mengenai kondisi manusia yang dirumuskan dengan tujuan keselamatan. Empat kebenaran ini berkisar sekitar masalah penderitaan (dukkha) sebagai penyakit di jantung keberadaan makhluk hidup. Pembagian kebenaran berunsur empat ini hanya mewakili berbagai aspek dari diagnosis Sang Buddha, yang dinyatakan untuk menunjukkan bagaimana penyakit ini dapat disembuhkan.
- Kebenaran tentang penderitaan (dukkha-sacca) menunjukkan bahwa kehidupan manusia secara intrinsik memiliki cacat, tertimpa berbagai macam rasa sakit dan ketidakbahagiaan. Ada yang secara tidak langsung, tetapi lainnya berakar dari sifat kemungkinan itu sendiri.
- Kebenaran tentang asal mula (samudaya-sacca) menelusuri penyebab penderitaan dan menunjukkan bahwa perderitaan bermula dari nafsu keinginan.
- Kebenaran tentang penghentian (nirodha-sacca) menunjukkan bahwa dengan hilangnya nafsu keinginan maka penderitaan dapat dilenyapkan.
- Kebenaran tentang sang jalan (magga-sacca) menjelaskan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai jalan menuju pembebasan dari penderitaan, yaitu pandangan benar, niat benar, ucapan benar, tindakan benar, penghidupan benar, usaha benar, kewaspadaan benar, dan konsentrasi benar. (lihat di bawah, hal. 35).
Doktrin tentang Empat Kebenaran Mulia dapat dipahami dari dua perspektif pelengkap, yang bisa kita anggap sebagai dua “kapak” yang menelusuri Ajaran, yang satu “vertikal” dan langsung, yang lain “horizontal” dan luas. Perspektif vertikal menunjukkan pada kita hubungan langsung yang segera tampak antara nafsu keinginan dan perderitaan, suatu hubungan yang dapat kita buktikan dengan pengamatan sederhana lewat pengalaman kita sendiri. Dengan mengamati kehidupan kita secara jujur, dapat kita lihat bahwa bilamana kita didorong oleh nafsu – oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin – maka kita bertindak dengan cara yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Kita mengalami stress dan rasa tidak puas. Seberapa banyak kita dapat mengendalikan dan menahan nafsu keinginan kita, sebesar itu pula kita dapat membebaskan diri dari dorongan-dorongan yang kuat. Dengan demikian kita dapat mengambil tindakan untuk kesejahteraan kita dan untuk kebaikan orang lain, dan kita juga mengalami kebahagiaan dan kegembiraan. Hal ini memungkinkan kita menyimpulkan bahwa jika pikiran kita dimurnikan dari setiap jejak nafsu keinginan, kita akan mencapai kemandirian sempurna dari keinginan sehingga kita akan menikmati kedamaian dan kebebasan yang tak tergoyahkan (31, 32, 36 ).
Sementara aspek Dhamma yang langsung tampak ini menawarkan kepada kita konfirmasi pribadi mengenai prinsip psikologi yang terkandung di dalam Empat Kebenaran Mulia, prinsip ini sama sekali tidak menghabiskan makna kebenaran-kebenaran. Pandangan vertikal Ajaran harus dilengkapi oleh pandangan horizontal, karena di seluruh rangkaian serta kedalamannya, Empat Kebenaran Mulia itu menembus keluar – bukan hanya sekadar penyembuhan psikologis – dan menawarkan cetak biru bagi jalan yang lengkap menuju pembebasan. Empat Kebenaran Mulia itu mengambil maknanya dari gambaran mengenai situasi manusia yang jauh lebih luas dan lebih dalam daripada yang tersedia bagi kita lewat pengamatan langsung. Inilah gambaran yang dipahami Sang Buddha pada malam pencerahan spiritual Beliau, ketika kabut ketidaktahuan terkuak dan sinar kebijakan bersinar terang tanpa terhalang.21
Pada malam itu, ketika duduk bermeditasi dengan amat dalam, Sang Buddha memahami keberadaan manusia, yang terkuak dalam kesinambungan kelahiran kembali yang disebut samsara, “yang terus menerus berkelana”. Sang Buddha melihat, bahwa setiap kehidupan di dalam samsara merupakan suatu proses dumadi, yang awalnya sungguh sulit dilihat, suatu rantai kelahiran dan kematian yang menyatu di dalam rangkaian sebab-akibat yang tak terputus. Demikian pula, proses kosmik – di mana bersemayam kehidupan makhluk – tidak memiliki awal, tanpa ada sang pencipta, tanpa tujuan akhir. Sang Buddha melihat sistem dunia muncul, berkembang dan hancur, dan kemudian Beliau melihat munculnya sistem dunia baru dari puing-puing sistem lama. Skala waktu dari proses itu sangat mengagetkan: setiap sistem dunia bertahan selama satu kalpa (kappa), satu unit perhitungan kosmik, yang sama dengan miliaran tahun.
Kemudian Sang Buddha mengajarkan bahwa alam semesta, yang membentang dalam ruang dan waktu yang tanpa batas, terdiri dari hirarki strata alam di mana makhluk hidup terus menerus berpindah. Teks-teks Buddhis awal menggambarkan suatu alam dengan tiga lapisan yang kemudian dibagi lagi menjadi berbagai alam (lihat tabel 1, 2). Deretan yang paling bawah adalah alam lingkup-indera (kamadhatu), yang disebut demikian karena kekuatan pendorong di alam ini adalah nafsu indera. Alam nafsu ini terdiri dari sepuluh alam: alam neraka, alam binatang, alam setan kelaparan (peta: makhluk halus seperti bayang-bayang yang harus mengalami siksaan nafsu), alam manusia, enam surga indera yang dihuni oleh makhluk yang disebut dewa, yang menikmati kebahagiaan, keelokan, kekuatan dan keagungan yang jauh lebih besar daripada yang kita kenal di alam manusia (116 §6, 166,167).22
Di atas alam nafsu indera adalah alam bentuk (rupadhatu). Di sini tidak ada materi yang lebih kasar dan sebagian besar nafsu indera telah reda. Alam ini dibagi menjadi empat kelompok, yang masing-masing terbagi lagi menjadi beberapa alam. Penghuni-penghuni alam ini juga para dewa, walaupun untuk membedakan mereka dari dewa di surga indera, mereka sering disebut Brahma. Masa kehidupan di alam Brahma meningkat secara eksponensial dan jenis pengalaman yang ada di sini lebih bersifat meditatif daripada indera. Sebenarnya, alam Brahma adalah “pasangan ontologi” dari jhana, penyerapan meditatif. Di atas alam bentuk terdapat alam kehidupan yang bahkan lebih tinggi, yang disebut alam tanpa-bentuk (arupadhatu). Makhluk-makhluk di alam ini semata-mata terdiri dari pikiran, tanpa dasar fisik, karena di sini sama sekali tidak ada materi. Empat alam kehidupan yang membentuk alam tanpa-bentuk ini, yang beraneka ragam kehalusannya, merupakan pasangan ontologi dari apa yang disebut empat “meditasi tanpa-bentuk”, yaitu: dasar dari ketidak-terbatasan ruang, dasar dari ketidak-terbatasan kesadaran, dasar dari ketiadaan, dan dasar dari bukan-persepsi-bukan-pula-tanpa-persepsi.
Teks-teks seringkali memadatkan kosmologi panjang lebar ini menjadi skema yang lebih sederhana, yaitu lima tujuan (pancagati): neraka-neraka, alam binatang, alam makhluk halus, alam manusia, dan alam dewa. Di alam terakhir itu termasuk berbagai alam dewa dari tiga alam. Tiga yang pertama disebut alam penderitaan (apaya-bhumi) atau tujuan yang buruk (duggati); alam manusia dan alam dewa disebut tujuan yang baik (suggati).
Bagi Buddhisme awal, tujuan sementara yang lebih rendah bagi pengikut Dhamma adalah menghindar agar tidak terjatuh ke tujuan yang buruk, serta memenangkan kelahiran kembali yang beruntung di tujuan yang baik. Ini sendiri sudah cukup sulit dicapai, karena makhluk-makhluk yang terlahir sebagai manusia dan dewa itu jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan makhluk yang terlahir di tempat yang buruk (10). Untuk menjamin kelahiran kembali yang beruntung, penting sekali memahami prinsip sebab-akibat yang mendasari proses perpindahan, karena proses itu tidaklah sewenang-wenang melainkan ditentukan oleh hukum yang tetap dan berlaku untuk semua. Hukum ini juga merupakan hal lain yang ditemukan Sang Buddha pada malam pencerahan spiritual Beliau, dan sepanjang hidupnya, Beliau terus-menerus menjelaskan cara kerja hukum ini.
Faktor utama yang mengatur proses kelahiran kembali, bagaikan pegas tersembunyi di belakang kaleidoskop bentuk kehidupan yang terus berubah, adalah suatu kekuatan yang oleh Sang Buddha disebut kamma (Skt: karma). Walaupun banyak ketidakjelasan yang terjalin di sekitar ide kamma di negara Barat, bagi Sang Buddha sama sekali tidak ada apapun yang misterius tentang ide itu. Kata “kamma” semata-mata berarti perbuatan atau tindakan, tetapi bagi Sang Buddha kamma merupakan jenis tindakan khusus- tindakan yang diniati, tindakan yang muncul dari kehendak (cetana). Perbuatan-perbuatan menjadi terwujud melalui tiga “pintu” atau saluran: ke luar melalui tubuh dan ucapan, dan ke dalam melalui “pintu pikiran” – dalam bentuk buah-pikir, rencana, keinginan, dan emosi. Sumber dari segala macam tindakan adalah kehendak. Dengan demikian, kehendaklah yang memberikan sifatnya yang secara etis sudah tertentu kepada tindakan itu (131 §35).
Sang Buddha membedakan kamma menjadi dua jenis, kamma yang tidak baik, (akusala-kamma) dan kamma yang baik (kusala-kamma). Yang menentukan apakah suatu perbuatan masuk ke dalam jenis ini atau itu adalah motivasi yang terletak di belakangnya. Motivasi-motivasi itu disebut akar (hetu, mula). Sang Buddha mengkhususkan tiga faktor mental sebagai akar yang tidak baik, yang merupakan penyebab-penyebab untuk munculnya tindakan yang tidak baik. Tiga faktor itu adalah: keserakahan atau nafsu keinginan (lobha, raga), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Beliau juga menetapkan tiga keadaan lawannya sebagai akar yang baik, penyebab-penyebab asal bagi tindakan yang baik: tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin (amoha). Walaupun ketiganya ini dinyatakan secara negatif, sesuai dengan pemikiran India yang khas, ketiga hal itu sebenarnya mewakili tiga sifat yang positif dan sehat: kedermawanan (tanpa-kemelekatan), cinta kasih dan pengertian (24, 37, 122, 203). Dengan kecenderungan Beliau untuk menggunakan skema pengelompokan yang tepat, Sang Buddha mengelompokkan sepuluh jenis tindakan sebagai paradigma kamma yang tidak baik dan sepuluh yang bersesuaian sebagai paradigma kamma yang baik. Kesepuluhnya itu kemudian dibagi lagi lewat tiga pintu. Mulai dengan kamma yang tidak baik dahulu, kita memiliki tiga jenis perilaku salah lewat tubuh: membunuh, mencuri, dan perilaku seksual yang tidak benar; empat jenis perilaku salah lewat ucapan: berbohong, pembicaraan yang memecah belah, ucapan yang kasar, dan pembicaraan yang tidak berguna; dan tiga jenis perilaku mental yang salah: iri hati atau tamak, keinginan jahat, dan pandangan salah. Sepuluh jenis kamma yang baik merupakan lawan langsungnya: penghindaran dari tiga jenis perilaku fisik yang salah; penghindaran dari empat jenis perilaku ucapan yang salah; dan tidak tamak, niat baik dan pandangan benar (203, 204, 205). Karena hal-hal ini menyebabkan kebahagiaan dan kesejahteraan, tindakan-tindakan “duniawi” yang baik juga disebut jasa (puñña). Perbuatan jasa utama yang disebutkan di dalam teks-teks adalah tindakan memberi, keluhuran moral, dan meditasi (164).
Fakta yang paling penting tentang kamma, sehubungan dengan kepentingan pribadi kita, adalah bahwa kamma memiliki suatu kecenderungannya sendiri untuk membuahkan hasil (vipaka). Perbuatan-perbuatan yang kita niati, begitu dilakukan, tidak seluruhnya lenyap. Perbuatan-perbuatan itu meninggalkan endapan halus di dalam arus kesadaran, “benih-benih” yang berpotensi untuk menjadi matang dan menghasilkan buah (phala). Hukum yang menyatukan kamma dan hasilnya merupakan hukum etika. Perbuatan-perbuatan baik – yaitu perbuatan-perbuatan yang muncul dari tiga akar yang baik – akan matang dan memberikan hasil-hasil yang diinginkan: kelahiran kembali yang menguntungkan, umur panjang, kesehatan yang baik, keelokan dan kemasyhuran, dan kemajuan menuju pembebasan. Sebaliknya, perbuatan-perbuatan yang buruk – yang muncul dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin – membuahkan hasil-hasil yang tidak diinginkan: kelahiran kembali yang buruk, umur pendek, kesehatan yang jelek dan terhalang dalam kemajuan spiritual (71, 90,122). Harus ditekankan bahwa hukum kamma berjalan secara otonomi. Hukum ini tidak dijalankan oleh suatu Tuhan yang maha kuasa yang membagikan ganjaran dan hukuman, melainkan berfungsi dengan sendirinya, sesuai dengan sifat hukum itu sendiri, yang intrinsik di dalam proses kosmik.
Untuk Buddhisme, urutan kelahiran kembali tidak ditopang oleh suatu jiwa permanen yang berpindah dari suatu kehidupan ke kehidupan yang lain. Sang Buddha malahan menyatakan bahwa tidak ada inti diri, yang berdiri di belakang pengalaman – sekalipun di dalam suatu kehidupan tunggal. Jika dilihat dengan seksama, makhluk hidup merupakan arus fenomena terkondisi yang terus menerus berubah, “suatu tumpukan bentukan” (sankharapunja), yang dibedakan oleh Sang Buddha menjadi “lima kelompok” (pancakkhanda), yaitu peristiwa yang terus menerus muncul dan berlalu: bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan niat dan kesadaran (lihat bawah, hal. 49, 50). Identitas pribadi ini berasal dari kesinambungan dan sifat saling berhubungan yang saling mempengaruhi antara kelompok-kelompok khanda di dalam suatu arus pengalaman tunggal, bukan dari suatu diri yang tetap atau jiwa pada intinya. Pada saat kematian, kombinasi lima khanda yang sifatnya sementara ini akan hancur, tetapi arus kesadaran, yang diarahkan oleh kecenderungan-kecenderungan kammanya, akan mengalir menuju suatu kehidupan baru. Jadi, suatu kombinasi baru dari lima khanda itu akan muncul, mewarisi semua kesan-kesan masa lalu, kecenderungan-kecenderungan mental dan kumpulan kumpulan-kumpulan kamma dari apa yang mendahuluinya.
Bersandar pada latar belakang dumadi samsara inilah Empat Kebenaran Mulia memperoleh makna lengkapnya. Di dalam Kebenaran Mulia yang pertama, Sang Buddha menyatakan bahwa semua jenis keberadaan yang berkondisi itu pada hakekatnya adalah penderitaan (dukkha); bahkan suka cita kita memiliki pegas potensial penderitaan karena suka cita itu tidaklah kekal, terikat dengan rasa sakit dan pasti terkena perubahan. Tidak ada bentuk keberadaan makhluk hidup yang kebal dari bencana kemungkinan: dari kelapukan dan kematian, perubahan dan kehancuran (29). Kelahiran kembali bahkan ke dalam surga-surga yang paling tinggi pun bukanlah perlindungan terakhir, karena para dewa di dalam kediaman mereka yang tinggi pun akhirnya harus mati dan bahkan mungkin terlahir kembali di alam penderitaan (56, 77, 190, §2, 3). Dengan demikian, walaupun Sang Buddha memuji kelahiran di alam yang tinggi bagi mereka yang belum cukup matang untuk tujuan akhir, tujuan akhir yang Beliau tunjukkan adalah bebas dari seluruh lingkaran kelahiran kembali.
Di luar kekacauan samsara, muncul dan lenyapnya fenomena yang berkondisi, terdapat suatu keadaan transenden yang tidak terkondisi, tidak berbentuk, tanpa kemunculan, perubahan dan kehancuran (29). Keadaan ini disebut Nibbana, elemen tanpa kematian (amatadhatu), yang dapat direalisasikan di sini dan kini melalui hancurnya seluruh nafsu keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin (32). Inilah yang dipuji oleh Sang Buddha sebagai kebaikan tertinggi, dan untuk realisasi tujuan inilah Beliau memberikan jalan unik menuju pembebasan.
Untuk mencapai pembebasan dari samsara, kita perlu membongkar proses sebab-akibat yang menopangnya. Pada malam pencerahan itu, Sang Buddha melihat bahwa lingkaran dumadi memiliki struktur pembentuk yang pasti, suatu dinamika terpadu yang membuatnya terus bergerak. Beliau menguak struktur ini di dalam ajaran Beliau mengenai sebab-akibat yang saling bergantungan (paticca-samuppada), yang pada dasarnya merupakan penjelasan panjang lebar mengenai Kebenaran Mulia kedua (dan diperlakukan demikian di 35). Di dalam formulasi klasiknya, paticca-samuppada mengandung dua belas hal, tetapi pokok penting yang dimaksudkan formula ini adalah bahwa lingkaran kelahiran kembali didorong dari dalam diri oleh ketidaktahuan (avijja) dan nafsu keinginan (tanha). Melalui nafsu keinginan – yaitu rasa haus yang membuta untuk mencari kesenangan dan kehidupan yang berlanjut terus – dengan resah kita mencari kenikmatan di dalam hal-hal yang hanya sekejap di dunia ini, menggenggam erat-erat lima khanda kita sebagai “aku” dan “milikku”, serta sibuk di dalam berbagai kegiatan yang bertujuan untuk kelestarian diri dan pemuasan pribadi. Kegiatan-kegiatan ini menjadi kamma kita, yang menentukan jenis kelahiran kembali yang akan kita jalani di dalam kehidupan mendatang melalui lingkaran itu. Sebaliknya, nafsu keinginan dipertahankan oleh kebodohan atau ketitaktahuan – kondisi paling purba di dalam rantai asal mula itu. Jadi, dengan kebodohan sebagai kondisi yang menopang, nafsu keinginan sebagai tenaga pendorong, dan kamma sebagai faktor yang mengarahkan, arus kesadaran pun didorong terus dari satu kehidupan menuju kehidupan lain di dalam tiga alam dumadi (38, 197).
Maka, bagi Sang Buddha, kunci menuju pembebasan terletak pada penghapusan nafsu keinginan, dan ini tergantung pada lenyapnya kebodohan. Penawar langsung untuk ketidaktahuan adalah pengetahuan (vijja). Tetapi, pengetahuan yang dibutuhkan bukanlah sekadar informasi konsep, melainkan “pengetahuan dan visi”, kesadaran langsung justru mengenai hal-hal yang cenderung diabaikan oleh ketidaktahuan, dan yang utama adalah Empat Kebenaran Mulia itu sendiri. Ketika ketidaktahuan dihapus oleh munculnya pengetahuan sejati, nafsu keinginan pun hancur, dan bersama kehancurannya, seluruh proses dumadi menjadi tidak lagi aktif. Inilah makna yang lebih dalam dari Kebenaran Mulia ketiga, yaitu kebenaran mengenai berhentinya penderitaan.
Pengetahuan yang bersifat membebaskan, seperti segala sesuatu yang lain, muncul dari proses pengondisian yang universal. Dengan kejeniusannya yang khas, Sang Buddha melihat secara amat jelas rangkaian kondisi yang akan membuat munculnya pengetahuan ini, dan Beliau membuat kondisi-kondisi ini menjadi suatu jalan bertingkat yang pasti akan membawa pada tujuan yang diinginkan. Jalan itu adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang “menyebabkan munculnya visi, menyebabkan munculnya pengetahuan, dan membawa pada kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan dan Nibbana” (SN 56:11). Jalan berunsur delapan itu terdiri dari delapan faktor yang diatur menjadi tiga kelompok: moralitas (bicara benar, tindakan benar, penghidupan benar); konsentrasi (usaha benar, kewaspadaan benar, konsentrasi benar); dan kebijaksanaan (pandangan benar, niat benar). Walaupun pada awalnya ketiga pembagian pada jalan ini harus diuraikan secara bertahap, ketika tahap-tahap yang lebih tinggi telah dicapai mereka menampung yang lebih rendah juga, sehingga akhirnya delapan faktor ini semuanya berfungsi sebagai kesatuan untuk sampai pada suatu tujuan umum: bangkitnya pengetahuan yang dapat menghapuskan akar-akar penderitaan yang terkubur.
Ketika calon Buddha mulai mencari pencerahan spiritual, Beliau melakukannya dengan mengikuti tradisi India yang sudah dihormati secara turun temurun, yaitu dengan meninggalkan kehidupan rumah tangga, hidup dan berpakaian sebagai petapa. Setelah mencapai tujuannya, Beliau pertama kali mengungkapkan pengetahuannya kepada teman-temanNya sesama petapa. Dengan segera Beliau menarik lebih banyak pria (dan kemudian wanita) yang amat terinspirasi oleh pesan Beliau sehingga mereka siap untuk sepenuhnya menjalankan latihan Beliau, yaitu brahmacariya atau kehidupan suci. Orang-orang ini menjalani kehidupan tak-berumah, yang melepaskan “debu” kehidupan rumah tangga dan membaktikan diri untuk mencapai pembebasan. Namun, seperti para guru spiritual lain di masa itu, Sang Buddha juga menarik pengikut awam, para perumah tangga yang belum siap untuk memasuki jalan meninggalkan keduniawian tetapi yang masih memandang Beliau sebagai guru dan pembimbing spiritual mereka. Dengan demikian, di masa awal Sang Buddha, terbentuklah empat komunitas Buddhis: Sangha Monastik, yang terdiri dari para bhikkhu dan bhikkhuni, serta komunitas umat awam yang terbentuk dari pengikut awam pria dan wanita (upasaka, upasika).
Di bagian sebelumnya saya berbicara tentang perbedaan antara dua tujuan yang dikejar oleh pengikut Sang Buddha: satu tujuan yang lebih rendah, yang menghasilkan kelahiran kembali yang beruntung di alam manusia atau alam dewa, dan tujuan akhir yang berlandaskan pencapaian Nibbana, bebas dari seluruh lingkaran kelahiran kembali. Kedua tujuan ini kira-kira berhubungan – tetapi hanya perkiraan – dengan aspirasi dua Komunitas Buddhis: umat awam bertujuan untuk terlahir lagi alam bahagia berkat perbuatan-perbuatan jasa, sedangkan bhikkhu dan bhikkhuni bertujuan untuk terbebas melalui kehidupan meninggalkan keduniawian dan meditasi. Model dengan dua kelompok di dalam Buddhisme awal ini lebih disukai oleh para sosiolog agama, dan sebagian dapat dianggap sah, tetapi model ini juga menghilangkan suatu dimensi penting dari ajaran Sang Buddha bagi para umat awam.
Untuk melihat apa yang telah dihilangkan dari model ini, kita perlu membuat suatu gradasi berunsur empat yang jelas tentang jalan menuju pencerahan spiritual yang disebutkan di dalam Buddhisme awal. Di sutta sutta, Sang Buddha sering berbicara mengenai empat tahap utama untuk kesucian yang puncaknya adalah terbebasnya pikiran, yang tak lagi tergoyahkan. Kemudian setiap tahap ini dibagi lagi menjadi dua fase: fase sang jalan (magga), yaitu ketika siswa berlatih untuk terwujudnya suatu buah tertentu; dan fase buah (phala), pencapaian sejati dari tahap yang bersangkutan. Dari empat pasang ini kita memperoleh delapan jenis manusia yang membentuk Sangha dari siswa-siswa mulia Sang Buddha, “ladang perbuatan jasa yang tak ada bandingnya bagi dunia” (57, 171).
Keempat tahap ini dibedakan oleh kemampuan untuk menghilangkan kelompok-kelompok belenggu tertentu (samyojana), yaitu kekotoran-kekotoran batin yang membuat makhluk hidup terbelenggu di dalam lingkaran kelahiran (40). Tahap kesucian pertama disebut pemasuk-arus (sotapatti). Terhadap pencapaian ini siswa dengan jelas melihat Empat Kebenaran Mulia untuk pertama kalinya, dan dengan demikian secara tak tertahan lagi masuk ke dalam “arus Dhamma” yang menuju Nibbana (136). Pemasuk-arus ditandai oleh lenyapnya tiga belenggu yang paling kasar: pandangan mengenai pribadi, yaitu pandangan mengenai diri yang berinti di antara lima khanda; keraguan pada Sang Buddha dan Ajarannya; pemahaman yang salah mengenai peraturan dan sumpah, yaitu percaya bahwa hanya dengan menjalankan peraturan eksternal (termasuk ritual keagamaan dan bentuk-bentuk petapaan pengampunan) saja orang dapat menuju keselamatan. Setelah mencapai pemasuk-arus, siswa itu terbebas dari prospek kelahiran kembali di alam penderitaan dan pasti mencapai pembebasan akhir – maksimum terlahir tujuh kali lagi – baik di alam manusia maupun di alam surga.
Tahap kesucian utama berikutnya adalah tahap yang-kembali-sekali-lagi (sakadagami), yang akan terlahir hanya satu kali lagi di alam manusia atau di alam surga lingkup-indera, dan di sana mencapai tujuan. Jalan bagi yang-kembali-sekali-lagi tidak menghapus belenggu lain apapun melainkan mengurangi keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin sehingga kekotoran itu hanya muncul sekali-sekali dan halus. Jalan ke tiga, yaitu yang-tidak-kembali-lagi (anagami), memutus dua belenggu lagi, yaitu nafsu indera dan niat jahat, yang merupakan belenggu-belenggu utama yang membuat para makhluk terbelenggu di alam lingkup-indera. Oleh karena itu, anagami, seperti yang tersirat lewat nama itu, tidak pernah kembali ke alam indera melainkan secara spontan terlahir kembali di salah satu surga alam-bentuk yang tinggi, yang disebut Kediaman Murni (suddhavasa), dan di sana mencapai Nibbana akhir. Tahap keempat dan terakhir dari jalan itu adalah tahap Arahat (arahatta), yang dicapai dengan menghilangkan lima belenggu halus yang tetap tidak terhapus bahkan di tingkat anagami: nafsu keinginan untuk dumadi di alam bentuk dan di alam tanpa bentuk, kesombongan, kegelisahan, dan kebodohan batin.
Bila skema berunsur empat ini disoroti, maka jelas terlihat bahwa dua tujuan yang diajukan sebagai landasan dalam Buddhisme awal tidak perlu dilihat sebagai hal berlawanan yang tidak bisa disatukan, yang menyebabkan perpecahan di dalam komunitas Buddhis. Setiap saat, Sang Buddha dapat menunjukkan Nibbana sebagai tujuan tertinggi bagi semua muridnya. Namun Beliau tetap saja masih melihat bahwa kemungkinan pencapaian tujuan itu tidak akan sama bagi setiap orang. Sebagai seorang realis, Sang Bhagava mengetahui bahwa putusnya kemelekatan secara total terhadap dunia ini tidak dapat dengan mudah dicapai di dalam dunia itu sendiri. Jadi kepada para pengikut awamnya, Beliau menyarankan kehidupan bermoral yang menuju pada kelahiran kembali di alam surgawi dan kemajuan bertahap menuju tujuan akhir; sedangkan bagi mereka yang berniat memenangkan pembebasan sempurna di sini dan kini, Beliau membentuk Sangha Monastik yang menyediakan kondisi-kondisi optimal bagi pencapaian Nibbana. Tetapi berulang kali Sang Buddha menekankan bahwa tiga tahap utama pencerahan itu Sepenuhnya dapat ditembus oleh mereka yang masih berkecimpung di dalam kehidupan rumah tangga, dan Beliau sering mendesak murid-murid awamnya untuk berusaha agar setidak-tidaknya mencapai tahap pertama pencerahan, yaitu tahap pemasuk-arus. Begitu tahap ini tercapai, batasan yang paling sulit telah ditanggulangi dan pencapaian Nibbana terjamin paling banyak di dalam tujuh kehidupan.23
Studi di Barat sering menggambarkan Buddhisme awal berasal dari suatu gerakan meninggalkan keduniawian yang mengesampingkan umat awam menjadi hanya sekadar umat yang berbakti dan penopang Sangha. Tetapi studi yang cermat tentang Kitab Pali menguak variasi ajaran yang kaya, yang diberikan kepada umat awam dan ditujukan baik untuk kesejahteraan sementara maupun untuk peningkatan spiritual mereka. Ajaran Sang Buddha memang mengarah pada meninggalkan kehidupan yang terkondisi, namun Beliau tidak segan-segan menasehati para pengikut awam mengenai aspek-aspek yang paling duniawi mengenai kehidupan mereka sehari-hari.24 Beliau mengajarkan pada seorang banker kaya bernama Anathapindika tentang penggunaan kekayaan yang benar (67) dan tentang kebahagiaan berunsur empat bagi perumah tangga (68). Kepada seorang perumah tangga muda, Beliau mengajarkan empat hal yang menuju pada kesejahteraan di sini dan kini, dan empat hal yang menyebabkan peningkatan spiritual di masa depan (170). Beliau memberikan petunjuk tentang cara hidup yang benar (110), menekankan nilai persahabatan yang baik (170), dan menjelaskan sifat-sifat sahabat sejati (141). Beliau mengajarkan pada orang-orang muda mengenai hutang budi mereka kepada ayah-ibu (15) dan memuji keindahan kehidupan keluarga yang berdasarkan rasa hormat pada orang tua (69). Beliau mengajarkan pada pasangan yang menikah bagaimana mereka seharusnya hidup bersama agar pernikahan mereka benar-benar agung (64). Beliau menjinakkan seorang ibu rumah tangga yang sewenang-wenang dengan ajaran tentang tujuh jenis isteri (148). Bahkan Beliau menjelaskan pada pasangan yang saling setia bagaimana caranya agar mereka dapat disatukan kembali di dalam kehidupan-kehidupan yang akan datang (65).
Model ideal yang dipuji oleh Sang Buddha bagi komunitas awam adalah model sappurisa, yaitu manusia superior (165). Sappurisa adalah perwujudan hidup dari empat sifat manusia, yang Beliau contohkan sendiri, dan Beliau anjurkan pada yang lain untuk dicapai: keyakinan, keluhuran moral, kedermawanan dan kebijaksanaan.
1. Keyakinan (saddha). Bagi Buddhisme, keyakinan tidak berarti penerimaan buta terhadap suatu doktrin yang sudah diterima secara resmi, melainkan suatu sikap percaya dan keyakinan yang diarahkan menuju ideal-ideal sakral tentang Ajaran, yaitu Tiga Permata: Buddha, Dhamma dan Sangha – Sang Guru, Ajaran, dan komunitas siswa agung. Ungkapan awal dari keyakinan adalah tindakan “pergi untuk berlindung”. Melalui tindakan ini, seseorang menyatakan kesetiaan kepada Tiga Permata (16, 34, 159). Perenungan mengenai Tiga Permata membawa kegembiraan dan kebahagiaan yang tinggi, yang membangkitkan arus perbuatan jasa yang luas menuju ke kelahiran surgawi (57,116, 166). Dengan pencapaian pemasuk arus, keyakinan ini berubah menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan (aveccappasada), yaitu kepercayaan yang dilandasi realisasi langsung (63).
2. Keluhuran moral (sila). Sang Buddha berkata bahwa keluhuran moral merupakan landasan bagi semua kemajuan di sepanjang Jalan Mulia Berunsur Delapan (lihat SN 45:149). Maka Beliau menawarkan kepada umat awam suatu kode moral sederhana namun lengkap, yang terdiri atas lima aturan (pancasila): yaitu menghindarkan diri dari membunuh, mencuri, perilaku seksual yang tidak benar, ucapan yang tidak benar, dan penggunaan apapun yang bersifat racun dan menyebabkan lemahnya kesadaran (159). Dengan menjalankan petunjuk-petunjuk ini, orang tidak hanya melindungi dirinya dari jurang kemunduran moral tetapi juga memberikan rasa aman dan jaminan pada makhluk yang tak terhitung banyaknya (166). Gambaran tentang kehidupan moral yang lebih rinci dijelaskan di dalam sepuluh bagian tindakan yang baik (204, 205), yang terus menerus meresapkan kebenaran di dalam tindakan, ucapan, dan pikiran. Sang Buddha juga mendorong pengikut awamnya agar menjalankan delapan aturan pada hari hari Uposatha, yaitu hari-hari khusus India tradisional pada waktu bulan purnama dan bulan baru. Dengan menjalankan sila-sila ini, murid awam meniru perilaku alami para arahat dan memperoleh ganjaran yang lebih berharga daripada sekadar kekayaan raja-raja terkuat (167).
3. Kedermawanan (caga). Di dalam konteks spiritual India, kedermawanan memiliki arti yang lebih luas daripada hanya sekadar memberikan dana kepada orang miskin dan yang membutuhkan. Kedermawanan memang mencakup hal-hal itu, namun yang paling penting, kedermawanan berarti menopang para petapa yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk membaktikan diri menuju penguasaan diri dan pemurnian-diri. Memberikan kepada mereka yang saleh kebutuhan-kebutuhan materi sederhana – jubah, makanan, tempat tinggal, obat obatan – merupakan sumber jasa yang kuat, yang menghasilkan ganjaran yang kaya (66, 100, 106, 163, 164). Komunitas dari orang-orang yang meninggalkan kehidupan duniawi digambarkan sebagai suatu ladang, dan tindakan memberi digambarkan sebagai benih yang ditanam di ladang itu, yang memberikan buah yang melimpah jika penerimanya membaktikan diri menuju kehidupan kemurnian (33). Tetapi ganjaran yang terbaik dari kedermawanan adalah ganjaran internal: yaitu si pemberi “berdiam di rumah dengan pikiran yang bersih dari noda kekikiran, dermawan secara bebas, terbuka untuk membantu, bergembira dalam melepas” (116, 168, 170). Dengan demikian, praktek kedermawanan menumbuhkan kemampuan untuk meninggalkan keduniawian yang dibutuhkan untuk maju pada jalan menuju pembebasan.
4. Kebijaksanaan (pañña). Keluhuran besar keempat dari manusia superior adalah kebijaksanaan, yang bentuk paling mendasarnya adalah kemampuan untuk membedakan antara sifat-sifat yang baik dan yang tidak baik, serta pengetahuan tentang bagaimana menanggulangi kekotoran mental (67). Kebijaksanaan yang lebih tinggi pada pengikut awam adalah kebijaksanaan pandangan terang (vipassana-pañña), “yang melihat ke dalam, pada muncul dan lenyapnya fenomena, yang agung dan memiliki sifat menembus, dan menuju ke hancurnya penderitaan secara total,” (168, 170). Kemampuan inilah yang nantinya akan masak menjadi buah pemasuk-arus clan tahap-tahap kesucian lain yang lebih tinggi pada Sang Jalan, yang kemudian membimbing umat awam bahkan melampaui surga-surga tertinggi menuju tujuan akhir, Nibbana.
Kehidupan seorang bhikkhu atau bhikkhuni adalah kehidupan yang dibaktikan untuk pencapaian Nibbana. Motif yang benar untuk “meninggalkan keduniawian” dan menjalani kehidupan tak-berumah adalah “untuk mengakhiri penderitaan”, penderitaan dari lingkaran kelahiran kembali yang tak-berawal. Agar tujuan ini dapat dicapai, Sang Buddha telah memberikan disiplin yang amat tepat dan keras, yang terdiri dari tiga tahap latihan: latihan dalam kemoralan yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi (39, 40). Dapat dicatat bahwa ketiga latihan itu sesuai dengan tiga pembagian pada Jalan Mulia Berunsur Delapan menjadi moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Kesesuaian itu bukanlah kebetulan. Memang di sutta-sutta tiga pelatihan itu diajarkan khususnya kepada para bhikkhu. Namun di dalam istilah-istilah monastik, sutta-sutta itu mendefinisikan jalan universal yang sama, yang terbuka bagi semua pengikut Sang Buddha, satu-satunya jalan praktek yang membawa pada berhentinya penderitaan.
Setiap tahap di dalam latihan berunsur tiga itu bersandar pada pendahulunya yang berfungsi sebagai penopang, dan sebaliknya menopang penerusnya. Tetapi yang lebih mendasar dibandingkan tahap manapun dari latihan berunsur tiga itu adalah sifat yang disebut ketekunan (appamada), yang merasuk ke dalam disiplin Buddhis dari awal sampai akhirnya. Ketekunan bisa dijelaskan sebagai bakti tanpa henti dan tak kenal pudar terhadap yang baik, karena adanya pengetahuan yang jernih mengenai bahaya-bahaya yang terdapat di dalam kekotoran batin dan di dalam lingkaran kelahiran kembali. Mempraktekkan ketekunan berarti secara terus menerus mempertahankan kesadaran akan buah pikir dan motifnya sendiri, bersemangat dalam menghapus buah-pikir dan motif yang merugikan, dan bersemangat dalam mengembangkan pertumbuhan buah pikir dan motif yang bermanfaat. Sang Buddha memuji ketekunan sebagai yang terbaik dari segala keadaan yang baik, karena ketekunan merupakan sifat yang bertanggung jawab untuk membawa semua faktor-faktor lain pelatihan menuju kesempurnaan (6, 75, 76, 186).
1. Latihan dalam Moralitas yang Lebih Tinggi (adhisila sikkha). Jalan ini bermula dengan latihan dalam keluhuran moral, yang bagi para bhikkhu dan bhikkhuni prinsipnya sesuai dengan Patimokkha (tata cara peraturan monastik). Semua peraturan ini bertujuan untuk mengembangkan sifat-sifat yang baik di dalam diri, seperti misalnya kemurnian, tidak-merugikan, kesederhanaan, dan tidak melekat. Selain menjalankan peraturan-peraturan formal ini, para bhikkhu dan bhikkhuni harus merasa puas dengan kebutuhan materi yang paling sederhana, mengerahkan pengendalian diri terhadap indera, makan dan tidur secukupnya, menghindari percakapan yang tidak bermanfaat, menanggung kesulitan dengan kesabaran, dan hidup harmonis bersama sesama bhikkhu atau bhikkhuni di dalam Sangha (lihat 55, 82, 104, 117, 121).
2. Latihan dalam Pikiran Yang Lebih Tinggi (adhicitta sikkha). Fokus dari jalan Buddhis bukanlah pada perilaku luar melainkan pada pikiran, karena Sang Buddha mengajarkan bahwa pikiran adalah sumber segala yang baik dan yang jahat. Jika pikiran tidak dikembangkan dan tidak dilatih, ia dapat menyebabkan munculnya penderitaan dan kemelekatan. Sebaliknya, jika pikiran dikembangkan dan dilatih, ia menjadi alat pembebasan yang paling jitu (3). Latihan dalam pikiran yang lebih tinggi bertujuan untuk mengolah kemampuan konsentrasi (samadhi), yaitu kemampuan untuk menjaga agar pikiran terfokus secara memusat pada suatu objek tanpa goyah atau terganggu. Sistem meditasi yang dijelaskan untuk mengembangkan konsentrasi disebut samatha-bhavana, yaitu pengembangan ketenangan (14, 72). Untuk mengembangkan latihan ini meditator pertama-tama harus memilih suatu objek meditasi yang sesuai (atau yang ditugaskan oleh guru). Teks-teks menjelaskan empat puluh objek meditasi ketenangan.25 Di antaranya, kewaspadaan akan pernafasan (196 §10) dan alat-alat kasina (lingkaran yang mewakili empat elemen atau warna primer; 190 §4) merupakan yang paling efektif untuk mengembangkan keadaan-keadaan konsentrasi yang terdalam. Objek-objek lain yang direkomendasikan adalah Tiga Permata (Buddha Dhamma, Sangha; 116), yang memberikan inspirasi untuk keyakinan dan kepercayaan; perenungan pada sifat-sifat tubuh yang menjijikkan, yang berguna untuk menanggulangi nafsu indera (,2, 142, 196 §3); kewaspadaan akan nafas, yang membakar kemelekatan terhadap kehidupan dan memberikan inspirasi untuk rasa kemendesakan (173, 174); dan brahmavihara, atau “kediaman-kediaman para dewa”, meditasi mengenai cinta kasih universal, kasih sayang, suka cita tanpa mementingkan diri sendiri, dan ketenang-seimbangan (36, 87, 118, 206).
Tantangan awal yang harus dihadapi oleh seorang meditator pemula untuk membuat pikiran diam adalah menghalau lima rintangan (panca-nivarana): nafsu indera, niat jahat, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan dan kekhawatiran, serta keraguan. Karena semua ini merupakan penghalang utama bagi konsentrasi dan pandangan terang, maka secara terperinci Sang Buddha menjelaskan bahaya-bahayanya, kondisi-kondisi yang memupuknya, dan sarana untuk menanggulanginya (2, 62, 111). Melalui praktek yang tekun, ditopang oleh tekad yang kuat, usaha dan penyeimbangan kemampuan-kemampuan batin secara terampil, meditator belajar untuk mengalahkan rintangan, menghalau buah-buah pikir yang mengganggu, dan menyatukan pikiran. Penjinakan pikiran diumpamakan seperti pemurnian emas, dan untuk itu dibutuhkan berbagai keterampilan yang halus, khususnya penerapan semangat yang tepat, konsentrasi, dan ketenang-seimbangan pada waktu memandang tanpa bereaksi (41, 42). Latihan dalam Pikiran yang Lebih Tinggi memuncak menjadi empat keadaan yang tinggi, yang disebut jhana (39, 59, 87). Jhana merupakan keadaan-keadaan konsentrasi mendalam yang ditandai oleh menyatunya kesadaran secara menyeluruh dan hilangnya semua gangguan. Keempat jhana itu menguak secara berurutan, yang lebih halus dicapai dengan hilangnya faktor-faktor yang lebih kasar di jhana sebelumnya. Di jhana keempat, sifat-sifat kesadaran yang mendominasi adalah ketenang-seimbangan dan kewaspadaan yang sudah dimurnikan. Setelah menguasai jhana keempat, tiga jalan terbuka di hadapan meditator. Satu jalan adalah mengejar perkembangan ketenang-seimbangan menuju tingkat yang bahkan lebih tinggi dengan cara mengembangkan empat pencapaian “tanpa-bentuk”, yaitu tahap-tahap konsentrasi yang muncul melalui abstraksi objek secara progresif (87). Yang kedua adalah mengembangkan kemampuan kesaktian dan pengetahuan supranormal yang dapat ditembus oleh pikiran yang terkonsentrasi dan jernih (41). Dan yang ketiga adalah maju ke tahap latihan berikutnya, kebijaksanaan.
3. Latihan dalam Kebijaksanaan yang Lebih Tinggi (adhipañña-sikkha). Fungsi konsentrasi, di dalam struktur jalan Buddhis, adalah memberikan landasan untuk kebijaksanaan (pañña). Kebijaksanaan adalah alat pembebasan primer, atau penawar langsung bagi ketidaktahuan di dasar proses sebab-akibat-yang-saling-bergantungan yang menjadi asal mula penderitaan. Jhana-jhana dan konsentrasi tanpa bentuk dapat menopang perkembangan kebijaksanaan dengan memberikan suatu landasan ketenangan dan kejernihan bagi meditator untuk melihat hal-hal sebagaimana adanya. Tetapi bila sendiri saja, jhana-jhana itu tidak mampu memotong kekotoran batin di akarnya. Sebenarnya, jika jhana-jhana itu dilekati dan dikejar demi untuk jhana itu sendiri, jhana-jhana itu hanya berfungsi sebagai bahan bakar tambahan untuk melanjutkan kehidupan di lingkaran kelahiran kembali, bukan sebagai sarana untuk menghentikannya (77). Pada tingkat yang paling dalam, belenggu-belenggu itu semuanya dipertahankan oleh ketidaktahuan. Dengan demikian, apa yang dibutuhkan untuk memotongnya adalah sifat yang langsung berlawanan dengan ketidaktahuan, yaitu kebijaksanaan.
Latihan sistematis yang dirancang oleh Sang Buddha untuk memupuk perkembangan kebijaksanaan disebut vipassana-bhavana, pengembangan pandangan terang (14, 72). Walaupun teks-teks mengenali adanya kemungkinan untuk terlebih dahulu mencapai pandangan terang dan setelah itu baru mengembangkan ketenangan (72, 83), paradigma klasik mengenai jalan itu memperlakukan ketenangan sebagai fondasi untuk pandangan terang. Jadi, seorang meditator yang bertekad untuk sepenuhnya mengikuti Sang Jalan harus pertama-tama menguasai praktek konsentrasi sampai tingkat yang cukup untuk membuat agar pikiran tenang dan menyatu. Kemudian dengan pikiran yang diam dan bersinar, dia dengan waspada memperhatikan bidang pengalaman langsung, yang bermula dengan tubuh (11). Setelah kewaspadaan menjadi makin tajam dari makin jernih, meditator belajar untuk membedakan lima khanda: bentuk materi atau fisik (rupa), perasaan (vedana), yaitu nuansa pengalaman yang berpengaruh – baik yang menyenangkan, menyakitkan atau netral; persepsi/pemahaman (sañña), yaitu faktor yang bertanggung jawab untuk mencatat, membedakan dan mengenali lagi; bentukan-bentukan yang berkehendak (sankhara), yaitu aspek aktivitas mental yang disengaja; dan kesadaran (viññana), yaitu kesadaran dasar yang beroperasi melalui indera. Meditator memperhatikan lima khanda ini ketika muncul dan berlalu (59), dan dengan demikian dia menemukan corak ketidakkekalan (anicca). Pandangan terang yang menembus ketidakkekalan ini membuahkan realisasi bahwa khanda- yang tidak stabil dan terus menerus lebur itu – sebenarnya merupakan bentuk-bentuk penderitaan yang tersembunyi (dukkha). Dan apapun yang tidak kekal dan bersifat tidak memuaskan tidak bisa diidentifikasikan sebagai suatu diri yang benar-benar ada. Maka, bila dipandang dengan benar, lima khanda yang kita sayangi sebagai “aku” dan “milikku” terlihat sebagai “bukan milikku, bukan aku, bukan diriku sendiri” (anatta).
Bagi Sang Buddha, ketidakkekalan, penderitaan dan tanpa-diri merupakan tiga ciri fenomena universal (48). Ketiganya saling terikat dan tak dapat dipisahkan, dan pandangan terang ke dalam ciri yang satu dengan sendirinya akan membawa pada yang lain (142 §5-7). Merenungkan sifat-sifat itu secara mendalam merupakan esensi meditasi pandangan terang, yaitu pengetahuan dan pandangan mengenai hal-hal sebagaimana adanya (138-40). Ketika pengetahuan yang terlahir dari pandangan terang menembus tingkat-tingkat yang makin dalam, pengetahuan ini menghasilkan suatu perubahan yang mendalam terhadap keberadaan yang terkondisi (nibbida). Pikiran berpaling dari semua bentukan (sankhara) yang terbentuk di dalam lima khanda itu, dan dilihat sebagai “penyakit, bisul, anak panah”. Sebaliknya, pengetahuan itu berpusat pada elemen tanpa-kematian (Nibbana) – yang dilihat sebagai satu-satunya keamanan dan kedamaian sejati. Perubahan ini berkembang dalam hilangnya nafsu (viraga), pudarnya nafsu jasmani dan nafsu keinginan, dan ketidaktertarikan itu kemudian memuncak dalam pembebasan (vimutti), yaitu terbebasnya pikiran dari semua belenggu (128,182,183).
Puncak jalan Buddhis disebut penghancuran noda (asavakkhaya; 181). Noda-noda (asava) merupakan tiga kekotoran pikiran yang paling purba: nafsu keinginan indera, nafsu keinginan untuk dumadi, dan kegelapan batin (131 §4). Masing-masing pencapaian dari tiga jalan dan buah yang lebih rendah mengikis lapisan noda tertentu. Ketika jalan yang keempat dan terakhir dicapai, kebijaksanaan menembus langsung dan melenyapkan noda-noda pada akarnya yang terdalam di pikiran. Dengan penembusan ini, siswa itu masuk ke dalam “pembebasan pikiran yang tanpa noda, pembebasan lewat kebijaksanaan, karena telah merealisasikannya bagi diri sendiri melalui pengetahuan langsung”.
Seseorang yang telah mencapai hancurnya noda disebut arahat. Kata itu secara harafiah berarti “orang yang berharga”, orang yang pantas menerima penghormatan dan penghargaan dunia. Arahat merupakan figur ideal di dalam Buddhisme awal, praktisi yang sepenuhnya telah mantap, yang “telah mencapai ke pantai seberang” dan telah mencapai Nibbana di dalam kehidupan ini juga (50). Arahat telah memenuhi latihan berunsur tiga di dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Sang Buddha mengatakan bahwa orang seperti itu “tidak perlu menambah apa yang telah dia lakukan dan tak ada lagi tugas selanjutnya yang harus dilaksanakan” (130). Dia merupakan asekha, orang yang telah melampaui latihan, orang yang sempurna dalam latihan, yang pikirannya telah murni bagaikan permata (22).
Arahat telah meninggalkan nafsu jasmani, kebencian dan kebodohan batin, “memotong pada akarnya sehingga tidak lagi bisa muncul di masa depan” (187). Bagi orang seperti itu semua pengertian mengenai “aku” dan “milikku” telah dilenyapkan, dan dengan demikian dia tidak lagi berpikir sehubungan dengan kesombongan berunsur tiga, “aku lebih baik, aku sama, aku lebih buruk” (23, 127). Seperti Sariputta – siswa utama Sang Buddha – arahat berdiam “dengan hati yang bagaikan bumi, luas, tinggi dan tanpa batas, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat jahat” (178). Seperti gunung karang yang tidak dapat digoyahkan oleh badai, demikian pula pikiran arahat tidak dapat diganggu oleh jajaran objek indera yang berubah, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan (130).
Arahat berdiam di sini dan kini di dalam kedamaian pembebasan yang tak tergoyahkan, dengan tiga api keserakahan, kebencian dan kebodohan batin yang telah padam. Dia (pria atau wanita) dapat juga memasuki konsentrasi khusus – yang bahkan masih membingungkan bagi para dewa – di mana pikirannya meninggalkan semua fenomena dunia yang terkondisi dan secara langsung memahami yang tidak terkondisi, yaitu Nibbana (184, 185, 207). Tetapi yang paling penting, dari sudut pandang Ajaran ini, adalah jaminan arahat bahwa dia memang telah menyelesaikan tugas yang ditentukan oleh Buddha. Arahat mengetahui bahwa dia (pria atau wanita) telah menghentikan lingkaran kelahiran kembali yang tanpa awal, dan bahwa dengan lenyapnya tubuh yang ada sekarang ini tidak akan ada lagi kemunculan di manapun juga dengan cara apapun juga. Apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan.
Arahat pertama dan paling menonjol adalah Sang Buddha, “yang terbaik di antara yang telah terjinakkan, yang pertama di antara yang telah tenang, yang tertinggi di antara yang terbebas, yang terbaik di antara mereka yang telah menyeberang” (54). Sang Buddha tidak hanya merupakan individu sejarah tetapi juga merupakan tipe khusus, pola dasar soteriologi. Semua tradisi Buddhis, bahkan dari masa yang paling awal, bertahan bahwa munculnya Buddha merupakan peristiwa yang berulang, suatu bagian integral dari proses kosmik yang memiliki hukum ritme. Di sepanjang waktu di masa lalu yang tanpa awal telah muncul para Buddha, dan mereka akan muncul lagi di masa mendatang (53). Fungsi khusus Buddha di dalam proses kosmik dan sejarah adalah untuk menemukan kembali Dhamma pembebasan yang telah lenyap dan kemudian mengajarkannya kepada dunia. Setiap Buddha memiliki pola purba yang sama. Beliau selalu muncul di alam manusia, terlahir di keluarga yang berkedudukan tinggi; ketika sudah dewasa, Beliau meninggalkan kehidupan rumah tangga, mencapai pencerahan, mengajarkan Dhamma dan mendirikan Sangha; lalu akhirnya pada usia yang cukup tua dan matang Beliau mencapai Nibbana – pembebasan terakhir dari semua jenis dumadi. Di zaman historis manapun setiap Buddha selalu unik, “tak ada yang sebanding, tak ada yang menyamai, tak ada yang setara” (8). Tetapi lambat laun Dhamma yang murni akan jatuh, diabaikan dan dilupakan. Masuklah masa kegelapan spiritual, dan kemudian pintu-pintu ke Tanpa-Kematian tertutup. Buddha lah yang menemukan kembali Dhamma yang telah lama lenyap itu dan sekali lagi membuka pintu-pintu menuju Tanpa-Kematian. Kemunculannya tidak terjadi secara kebetulan, melainkan karena kasih sayangnya pada dunia. Hal ini merupakan buah dari kehidupan yang tak terhitung banyaknya, yang Beliau jalani sebagai bodhisatta, orang yang membaktikan hidupnya untuk menyempurnakan moralitas. Inilah yang membuat Beliau memenuhi syarat untuk tanpa bantuan menemukan jalan menuju pembebasan dan melaksanakan fungsi-fungsi yang tak dapat dipahami sebagai Yang Sepenuhnya Tercerahkan.26
Semua ide ini tampaknya tersirat lewat julukan misterius yang secara berulang-ulang digunakan Sang Buddha untuk menyebut dirinya sendiri, “Tathagata” (54): Orang yang Telah Datang Demikian, Orang yang Telah Pergi Demikian, Orang yang telah tiba pada Aktualitas. Sebagai Tathagata, Sang Buddha memiliki sepuluh kemampuan pengetahuan yang memberi Beliau hak untuk mengaumkan raungan singanya di jagad raya dan untuk menggulirkan Roda Dhamma yang tinggi (188). Aumnya menggema di seluruh sistem dunia, dan bahkan sampai ke istana-istana tinggi para dewa (56). Tathagata bukanlah hanya sekadar orang yang tercerahkan, melainkan juga seorang pembebas: yang pertama dari Tiga Permata (57), yang pertama dari Tiga Perlindungan “pemimpin yang tak terkalahkan bagi manusia yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia” (36). Kemunculannya di dunia ini merupakan manifestasi sinar dan kecemerlangan yang luar biasa. Dengan menyatakan Dhamma dan mendirikan Sangha, Beliau memajukan kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para makhluk yang tak hitung banyaknya (8). Dari suatu sudut pandang soteriologi, Sang Buddha tunduk pada Dhamma, karena Beliau berdiam dengan menghormat dan menghargai Dhamma (53) serta mengajar dengan Dhamma sebagai standar, bendera, dan kekuasaan Beliau (19). Tetapi dengan membuat Sang Buddha sebagai Raja Dhamma – yang sesungguhnya merupakan menifestasi Dhamma yang tampak – Buddhisme di dalam Kitab Pali mencapai fokus religius yang benar-benar pribadi. Melalui masa berabad-abad, Buddhisme itu telah memberikan inspirasi bagi keyakinan dan bakti para pengikutnya.
1 Mengenai ciri-ciri bahasa Pali lihat berikut: Norman, hal. 2-7; von Hinuber (1996), hal. 5; dan Gombrich, hal. xxii-xxix. Sebagai nama untuk bahasa kitab, “Pali” sebenarnya merupakan kata yang salah digunakan. Arti awal kata Pali sebenarnya adalah teks kitab suci, yang dibedakan dari kitab komentar. Pada suatu titik tertentu (kelihatannya sudah ada di antara para bhikkhu Asia) ungkapan palibhasa disalahartikan sehingga berarti “bahasa (yang bernama) Pali”. Begitu sebutan itu dipakai, selanjutnya kata itulah yang bertahan.
2 Tetapi, proses perubahan itu sama sekali tidak mudah. Adanya arti ganda pada contoh, interpretasi salah oleh para penerjemah dan penerapan mekanis tentang peraturan fonetik perubahan, semuanya menjadikan munculnya kesalahan, meskipun pada umumnya kesalahan-kesalahan itu kecil saja dan tidak mempengaruhi intisari ajaran secara serius. Pada mulanya teks-teks diterjemahkan ke dalam bahasa Indo-Arya Tengah, namun juga tidak benar jika dianggap bahwa dialek Indo-Arya Tengah identik dalam semua hal dengan bahasa yang dipakai oleh teks-teks yang kita baca sekarang. Dialek itu telah mengalami beberapa tahap metamorfosis, yang paling penting adalah peng-Sanskerta-an sebagian, yang mungkin dimulai di abad 3 akhir SM. Lihat Norman, hal. 5, dan von Hinuber (1982).
3 Keterangan kitab suci tentang Konsili Pertama ada di Vin II 285-87. Penjelasan rinci mengenai komentarnya terdapat di Komentar Vin (Samanta-pasadika, edisi PTS, I 16) dan di Komentar DN (Sumangala-vilasini, edisi PTS, I 13-15).
4 Mengenai sistem bhanaka, lihat Adikaram, hal. 24-32.
5 Hal ini terutama jelas di dalam laporan mengenai jalannya Konsili Pertama di Komentar DN I 13-15.
6 Misalnya, Sarvastivada, kelompok awal yang lain, memiliki pasangan Sanskerta dari Majjhima Nikaya yang disebut Madhyamagama, yang dilestarikan di dalam terjemahan Cina. Versi ini berisikan 222 sutra (sedangkan di MN Pali 152 sutta). Dari jumlah ini, 98 memiliki sutta yang sepadan di MN, 79 di AN, 10 di SN dan 9 di DN (Norman, hal. 49).
7 Konsili Kedua dijelaskan di Vin II 305-7.
8 Mengenai pembagian Sangha awal menjadi delapan belas kelompok, lihat Lamotte, hal. 517-47. Jumlah “delapan belas” tampaknya merupakan jumlah tradisional. Tradisi-tradisi yang berbeda menentukan pembagian yang berbeda. Jika semua itu dikumpulkan, jumlah sebenarnya akan lebih besar daripada delapan belas.
9 Konsili Ketiga dijelaskan di catatan sejarah Ceylon, Dipavamsa VII, syair 34-59 dan Mahavamsa V, syair 267-82, dan di Komentar Vin I 60-61. Misi-misinya ada di Dipavamsa VIII, 1-13, Mahavamsa XII, 1-55, dan Komentar Vin I 63-69. Lihat juga Lamotte, hal 272-74, 292-94.
10 Mengenai masuknya Buddhisme ke Sri Lanka, lihat Adikaram, hal. 49-58 dan Malalasekera, hal. 23-30.
11 Mengenai sistem bhanaka ketika ditanamkan ke Sri Lanka, lihat Adikaram, hal. 26-32.
12 Penulisan buku-buku didiskusikan oleh Adikaram, hal. 79, dan Malalasekera, hal. 44-47. Malalasekera menganggap bahwa setiap teks mungkin sudah ditulis sebelum Konsili di Aluvihara, sehingga hasil konsili yang sesungguhnya adalah pengaturan teks-teks secara sistematis dan otorisasi kitab lengkap dalam bentuk tertulis. Adikaram (hal. 32) menunjukkan bahwa sistem bhanaka terus berlanjut setelah teks-teks itu ditulis, mungkin selama berabad-abad. Sistem ini sekarang masih hidup di Myanmar. Di Myanmar, bahkan sampai belum lama ini, masih ada bhikkhu yang dapat mengucapkan ulang semua 45 jilid Tipitaka dari ingatannya.
13 Untuk sembilan jenis gaya literatur, lihat Teks 103.
14 Beberapa sutta di SN dan AN sama panjangnya dengan yang di MN, dan beberapa sutta di MN ini masuk ke dalam setiap koleksi (MN 109 = SN 22:82; MN 144 = SN 35:87; MN 145 = SN 35:88; MN 52 = AN XI, 17; MN 33 = AN XI, 18). Redaktur-redaktur kitab Pali biasanya amat kritis dalam alokasi teks antara SN dan AN, namun tetap saja ada beberapa kasus duplikasi.
15 Memanfaatkan penelitian Ernst Waldschmidt, Norman (hal. 57) menunjukkan bahwa Ekottarikagama versi Cina mungkin milik mazhab Mahasanghika, yang diterjemahkan bukan dari bahasa Sanskerta melainkan dari bahasa Prakrit atau dialek campuran Prakrit dengan elemen Sanskerta.
16 Hardy, di edisi PTS tentang AN Jilid V, mencakupkan apppendix yang berisikan daftar sutta yang memperoleh nomornya dari gabungan kelompok hal yang lebih kecil (hal. 421-22). Sutta-sutta gabungan yang terdapat di antologi sekarang ini adalah Teks 122, 145, 154 (terlewatkan oleh Hardy), 168, 170, 175, 176.
17 Untuk studi banding antara DN dan MN mengenai tujuan dominannya, lihat Manne, “Categories of Sutta in the Pali Nikayas”.
18 Tetapi, rangkaian standar yang menentukan pembentukan tujuh puluh tujuh “alat bantu menuju pencerahan” ini tercakup di dalam kode setiap nipata di AN, dari Kelompok Empat dan seterusnya. Di situ disebutkan berbagai kelompok faktor latihan yang menyebabkan hilangnya kekotoran batin.
19 Di bahasa Sanskerta, namanya adalah Siddhartha Gautama. Tetapi di dalam teks Sanskerta, Beliau biasanya dikenal sebagai Buddha Shakyamuni, suatu bentuk yang jarang ditemukan di bahasa Pali.
20 Empat Kebenaran Mulia pertama-tama dijelaskan Sang Buddha di dalam khotbah pertama Beliau di Taman Rusa dekat Benares dan merupakan keseluruhan pokok bahasan di satu bab di dalam Samyutta Nikaya (Bab 56).
21 Tiga pengetahuan yang lebih tinggi yang direalisasikan oleh Sang Buddha pada malam pencerahan Beliau adalah: pengetahuan mengenai kelahiran-kelahiran lalu Beliau, pengetahuan mengenai bagaimana makhluk terus berlanjut menuju kelahiran ulang sebagaimana ditentukan oleh kamma mereka, dan pengetahuan mengenai hancurnya noda-noda. Lihat MN 4, 19, 36, dll.
22 Tradisi Theravada di kemudian hari menambahkan ke dalam kosmologi ini suatu kelompok makhluk lain, yaitu asura, yang memang disebutkan di dalam teks kuno tetapi tidak dimasukkan ke dalam suatu alam sendiri. Para asura adalah raksasa, yang digambarkan terus menerus terlibat perang melawan para dewa. Tambahan ini membuat jumlah alam lingkup-indera menjadi sebelas, dan jumlah tujuan kehidupan yang buruk menjadi empat.
23 Mengenai pertanyaan tentang tingkat arahat awam, tradisi Theravada beranggapan bahwa seseorang dapat mencapai tingkat arahat sementara masih berada di dalam kehidupan awam, tetapi akan segera mencari pentahbisan sebagai bhikkhu atau bhikkhuni. Bandingkan Milindapañha 264-265: “Ada dua pilihan, bukan yang lain, bagi seorang perumah tangga yang telah mencapai tingkat arahat: pada hari itu juga dia pergi meninggalkan kehidupan duniawi (masuk ke dalam kehidupan tak-berumah), atau dia mencapai Nibbana akhir. Hari itu tidak dapat dilewati (tanpa terjadi salah satu peristiwa tersebut)” (terjemahan I.B Horner, Pertanyaan-pertanyaan Milinda, 2:80). Posisi ini sesuai dengan Kitab Pali. Walaupun kitab itu mencatat beberapa kasus orang awam yang mencapai tingkat arahat, tetapi tidak diketahui apakah ada yang terus hidup sebagai perumah tangga. Mereka semua masuk ke dalam kehidupan tak-berumah atau meninggal dunia hampir segera setelah pencapaian.
24 Penjelasan yang paling lengkap mengenai instruksi-instruksi praktis Sang Buddha kepada umat awam ada di Sigalovada Sutta (DN 31).
25 Penjelasan sistematis mengenai empat puluh subjek untuk meditasi ketenangan terdapat di Vism III, 104-22.
26 Kebajikan-kebajikan ini disebut parami, padanan bahasa Pali untuk paramita yang dikenal di teks-teks Buddhis Mahayana. Untuk analisa terperinci sesuai dengan tradisi Theravada, lihat Bhikkhu Bodhi (1978), Bagian IV.