Peta Bagaikan Ladang

I.1 PENJELASAN MENGENAI
CERITA PETA BAGAIKAN LADANG

[Khettupamapetavatthuvannana]

Sang Buddha, yang berdiam di Tempat Memberi Makan Tupai, di Hutan Bambu di Rajagaha mengisahkan1 cerita mengenai peta yang dahulunya adalah putra seorang pedagang kaya.

Dikisahkan bahwa di Rajagaha ada seorang pedagang kaya raya yang memiliki kekayaan yang luar biasa besarnya. Harta bendanya amat banyak, sumber-sumber materinya melimpah, dan tak terhitung harta yang terkumpul, berkoti-koti2 banyaknya. Karena memiliki kekayaan yang demikian besar dia dikenal sebagai Mahadhanasetthi3. Anaknya hanya satu, dan putra tunggal ini amat disayangi dan dibanggakan. Ketika putranya mencapai usia akil balik, orang tuanya berpikir, ‘Seandainya putra kita membelanjakan seribu (keping) setiap hari bahkan selama seratus tahun pun, kekayaan yang terkumpul ini tidak akan habis. Maka biarlah dia menikmati harta benda ini sesukanya. Tak perlu dia menanggung beban bersusah payah lewat tubuh dan pikiran karena harus mempelajari suatu keterampilan.’ Maka putranya ini tidak disuruh mempelajari keterampilan apapun. Ketika dia sudah dewasa, orang tuanya mencarikan istri dari keluarga baik-baik yang masih muda, cantik dan mempesona. Namun gadis yang menggiurkan ini mengabaikan hal-hal spiritual. Ketika dimabuk kenikmatan cinta dengan istrinya, laki-laki muda ini sekilas pun tidak mempunyai minat pada Dhamma dan tidak memiliki rasa hormat terhadap para petapa dan brahmana serta orang-orang yang pantas dihormati. Dan karena dikelilingi oleh orang-orang jahat, dia bergembira dan bergelimang di dalam kenikmatan-kenikmatan lima indera. Di dalam kebodohannya, secara membuta dia terus mengejar kesenangan-kesenangan indera. Demikianlah dia menghabiskan waktunya.

Setelah kedua orang tuanya meninggal, dia menghamburkan kekayaannya sepuas hati pada para penyanyi dan penari dan sebagainya. Tidak lama kemudian (kekayaannya) habis. Namun dia masih dapat bertahan hidup setelah memperoleh pinjaman. Ketika tidak ada lagi yang mau memberikan pinjaman dan dia dikejar-kejar oleh para kreditornya, maka tanahnya yang subur, rumahnya dan sebagainya pun berpindah tangan. Dia pun terpaksa tinggal di bangsal kota yang dibangun untuk fakir miskin. Dia makan (apa yang diperolehnya) setelah berkelana mengemis dengan mangkuk di tangan.

Pada suatu hari, beberapa perampok yang berkumpul berkata kepadanya, “Wahai, kawan, mengapa kamu hidup susah? Kamu masih muda [4], kuat, gesit dan punya kekuasaan. Mengapa berperilaku seolah-olah tidak punya tangan dan kaki? Ayo, mencurilah bersama kami. Nanti kamu akan bisa memperoleh kekayaan orang dan bisa hidup enak.’ ‘Aku tidak tahu bagaimana caranya mencuri,’ jawabnya. ‘Kami akan melatihmu. Lakukan saja segala yang kami katakan,’ kata para perampok itu. ‘Baiklah,’ dia menyetujui dan pergi bersama mereka. Para perampok itu kemudian memberinya tongkat besar dan mereka membobol sebuah rumah. Ketika akan masuk, mereka menyuruh dia berjaga-jaga di mulut lorong. ‘Jika ada orang lain yang datang ke sini, bunuhlah dia dengan sekali pukul memakai tongkat ini.’ Buta karena ketololan dan ketidaktahuan tentang apa yang baik atau buruk baginya, dia berdiri di situ, melihat ke sana kemari kalau-kalau ada orang yang datang, sementara para perampok memasuki rumah dan mengambil segala yang dapat diambil. Begitu (keberadaan mereka) ketahuan, para perampok itu pun segera lari lintang pukang ke segala arah. Para penghuni rumah yang terbangun cepat mengejar sambil menengok ke sana kemari4 ke segala arah. Mereka melihat laki-laki yang berdiri di pintu masuk para perampok. ‘Itu dia, perampok jahat itu!’ teriak mereka. Maka laki-laki itu pun ditangkap dan dipukuli dengan tongkat dan sebagainya pada tangan dan kakinya. Lalu dia dibawa ke hadapan raja. ‘Paduka raja, inilah perampok yang tertangkap di mulut lorong,’ kata mereka. ‘Penggal kepalanya!’ kata penjaga-kota. Laki-laki itu lalu ditangkap. Tangannya diikat di balik punggung. Lehernya dikalungi rangkaian bunga kanavira5 merah, dan kepalanya diolesi bubuk-bata6. Lalu dia dicambuki sambil digiring menuju tempat eksekusi. Di sepanjang jalan, genderang hukuman mati7 terus dipukul. Dia berjalan dari satu jalan ke jalan lain, dari satu persimpangan ke persimpangan lain, sambil diiringi teriakan, ‘Inilah perampok yang menjarah dan telah tertangkap di kota ini.’

Kebetulan pada saat itu ada pelacur kota bernama Sulasa yang sedang berdiri di istana. Ketika melihat keluar melalui jendela kisi-kisi, dia melihat laki-laki itu digiring sedemikian. Karena telah mengenalnya di masa lalu, muncul belas kasihan di dalam diri wanita itu. Dia berpikir, ‘Dahulu laki-laki ini luar biasa kaya raya di kota ini, tetapi sekarang dia mengalami nasib buruk sampai seperti ini. Sungguh amat menyedihkan dan menyiksa.’ Maka pelacur itu mengirimkan empat manisan serta air, dan menyuruh seseorang menyampaikannya kepada penjaga-kota, ‘Saya mohon tuan yang terhormat mau berhenti [5] sampai laki-laki ini makan manisan dan minum air ini.’ Selama mereka beristirahat, Y.M. Mahamoggallana melihat kesedihannya ketika beliau mengamati (dunia) dengan mata batinnya.8 Hatinya tergerak karena welas asihnya dan beliau berpikir ‘Laki-laki ini belum melakukan perbuatan-perbuatan yang berjasa, dia (hanya) melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat. Akibatnya, dia akan muncul di neraka. Tetapi jika aku pergi (ke sana) dan dia memberikan manisan dan air itu kepadaku, dia akan terlahir di antara para dewa bumi. 9 Akan merupakan hal yang baik jika aku membantunya.’ Maka beliau pun muncul di hadapan laki-laki itu ketika manisan dan air itu dibawa kepadanya. Ketika melihat petapa Thera itu, laki-laki itu berpikir dengan rasa bakti di hatinya, ‘Apa gunanya manisan ini bagi orang yang akan dibunuh? Sebaliknya, manisan ini akan menjadi bekal bagi orang yang akan menuju ke dunia lain.’ Maka dia menyuruh agar manisan dan air itu diberikan kepada Mahamoggallana Thera. Untuk meningkatkan rasa bakti laki-laki itu, Sang Thera lalu duduk di suatu tempat yang dapat dilihat10 untuk makan manisan dan minum air itu. Kemudian beliau bangkit dan pergi. Laki-laki itu digiring algojo lagi menuju tempat hukuman mati dan dipenggal kepalanya. Sebenarnya, dia pantas terlahir di devaloka yang lebih tinggi11 sebagai hasil dari perbuatan jasa yang dilakukannya dengan rasa hormat kepada Mahamoggallana Thera, yang merupakan ladang-jasa-yang-tiada-bandingnya. Namun karena dia berpikir, ‘Aku berhutang budi pada Sulasa yang menyebabkan aku memperolah persembahan-jasa ini’, pikirannya pada saat kematiannya dipenuhi oleh rasa cinta12 yang ditujukan pada Sulasa. Oleh karena itu dia muncul di tingkat yang lebih rendah, yaitu sebagai dewa-pohon di pohon beringin13 yang besar di antara keteduhan pepohonan rimbun di gunung.

Dikatakan, bahwa seandainya saja di masa mudanya laki-laki itu sudah bekerja keras dan melanjutkan garis keluarganya, dia akan menjadi orang paling terkemuka di antara para pedagang kaya di kota itu, sedangkan seandainya dia bekerja keras pada waktu tengah-baya, dia akan memiliki (status) menengah. Dan seandainya dia bekerja di hari tuanya, dia akan memiliki (status) terendah. Tetapi seandainya saja di masa mudanya dia telah meninggalkan keduniawian, dia akan menjadi seorang arahat, sedangkan jika dia meninggalkan keduniawian di tengah-baya, dia akan menjadi Yang-tidak-kembali-lagi atau Yang-kembali-sekali-lagi. Dan seandainya dia meninggalkan keduniawian di usia tua, dia akan menjadi sotapanna14. Namun dikatakan bahwa akibat pergaulannya dengan teman-teman yang jahat, dia menjadi tidak terhormat, berperilaku buruk, suka berpesta pora dengan para wanita dan minum-minum, sehingga akhirnya dia menghamburkan semua harta kekayaannya dan jatuh pada penderitaan yang besar itu.

[6] Beberapa waktu kemudian, dia melihat Sulasa yang pergi ke taman. Karena nafsu birahi dan keinginan yang besar, dewa itu lalu menimbulkan kebutaan15 pada Sulasa dan membawa Sulasa ke alamnya. Setelah hidup secara intim dengan Sulasa selama tujuh hari, dewa itu kemudian berterus terang tentang identitasnya. Sementara itu, ibu Sulasa, yang tidak dapat melihat anaknya, pergi ke sana ke mari sambil menangis. Orang-orang yang melihatnya berkata, ‘Y.M. Mahamoggallana memiliki kemampuan batin yang luar biasa. Beliau pasti tahu di mana Sulasa berada. Pergilah ke sana untuk bertanya.’ ‘Baik, sahabat’. Si ibu lalu menghadap Sang Thera dan menanyakan hal itu. Sang Thera berkata, ‘Tujuh hari dari sekarang, kamu akan melihat Sulasa di pinggir kerumunan orang ketika Sang Buddha sedang mengajarkan Dhamma di Mahavihara16 di Hutan Bambu.’ Sulasa kemudian berkata kepada devaputta itu, ‘Tidaklah pantas bila aku berdiam di alammu. Hari ini adalah hari ketujuh, dan ibuku yang tidak dapat melihatku sudah amat khawatir dan sedih. Bawalah aku kembali ke sana, dewa.’ Dewa itu lalu membawa kembali Sulasa ketika Sang Buddha sedang mengajarkan Dhamma di Hutan Bambu dan meletakkan Sulasa di tepi kerumunan orang, sedangkan dia berdiri tak terlihat (di sampingnya). Ketika melihat Sulasa, orang-orang berkata, ‘Wahai Sulasa, kemana saja kamu selama berhari-hari? Karena kamu tidak kelihatan, ibumu merasa amat cemas dan sedih seperti orang kebingungan.’ Sulasa pun menceritakan kejadian itu kepada orang-orang itu dan mereka bertanya, ‘Bagaimana laki-laki itu bisa muncul sebagai dewa, padahal yang dia lakukan hanyalah perbuatan-perbuatan jahat dan dia tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik?’ Sulasa menjawab, ‘Dia memberi kepada Y.M. Mahamoggallana manisan dan air yang kuberikan kepadanya. Karena perbuatan jasa inilah dia muncul sebagai dewa.’ Ketika orang-orang mendengar hal ini, mereka merasa amat takjub dan heran. Mereka merasakan17 suka-cita dan kepuasan yang amat tinggi karena berpikir, ‘Para Arahat memang benar-benar merupakan ladang-jasa yang tiada bandingnya di dunia ini -bahkan pelayanan yang paling kecil pun pada mereka dapat membuat para makhluk muncul sebagai dewa.’

Para bhikkhu mengajukan persoalan itu kepada Sang Buddha yang kemudian mengucapkan syair-syair ini karena munculnya suatu kebutuhan pada saat itu :

1. ‘Bagaikan ladang adalah para Arahat, bagaikan pengolah adalah mereka yang memberi; bagaikan benih adalah persembahan-jasa itu: dari inilah maka buah dihasilkan.

2. [7] Benih, ladang dan pengolahan ini (diinginkan) bagi para peta dan bagi orang yang memberi; para peta memanfaatkan ini, sedangkan si pendana tumbuh melalui jasa itu.

3. Setelah melakukan di sini apa yang bermanfaat dan setelah menghormati para peta, setelah melakukan tindakan yang menjanjikan keberhasilan itu, maka dia akan pergi menuju ke alam surga.’

1. Di sini bagaikan ladang (khettupama): ladang adalah tempat yang memelihara benih yang ditaburkan dan disemai di atasnya, serta melindunginya dengan cara mengubahnya menjadi hasil yang besar;18 ladang merupakan tempat bagi tumbuhnya benih-benih padi dll. -mereka19 pun seperti ini, bagaikan ladang. Artinya, para Arahat mirip ladang yang siap dibajak. Arahat (Arahanto): adalah orang yang telah menghancurkan segala asava. Mereka disebuh ‘Arahat’ karena musuh-musuh (arinam) berupa kekotoran batin20 dan jeruji (aranam) roda samsara21 telah dihancurkan (hatatta) oleh mereka; karena mereka tetap waspada terhadapnya (arakatta);22 karena mereka pantas (arahatta) memperoleh kebutuhan pokok dan sebagainya; dan karena mereka tidak melakukan perbuatan jahat apapun, sekalipun secara sembunyi-sembunyi (arahabhava).23 Berkenaan dengan ini, sebagaimana ladang yang dipersiapkan dengan baik24 dan tidak rusak karena rumput liar dll. jika ditaburi benih akan memberikan hasil yang besar bagi pengolahnya asalkan diairi pada saat yang tepat dan kondisi-kondisi penting lainnya dipenuhi, demikian pula orang yang telah menghancurkan asava di hatinya. Orang yang dipersiapkan dengan baik24 dan yang tidak ternoda oleh keserakahan dll., jika ditaburi benih (dalam bentuk) persembahan-jasa, akan memberikan hasil yang besar bagi orang yang memberi, asalkan dilakukan pada waktu yang tepat dan kondisi-kondisi penting lainnya dipenuhi. Untuk alasan inilah Sang Buddha mengatakan, ‘Bagaikan ladang adalah para Arahat.’ Demikianlah penjelasan lewat ‘definisi maksimum’25, karena tidak ada perkecualian juga bagi mereka yang masih belajar dll. sebagai ladang itu. Mereka yang memberi (dayaka): para pemberi, mereka yang memberikan apa-apa yang dibutuhkan, seperti misalnya jubah dll. Lewat kedermawanan mereka27, orang-orang yang memberi adalah mereka yang memotong keserakahan dll. dari hati mereka sendiri. Arti lainnya, mereka adalah orang-orang yang membersihkan dan menjaga hati mereka dari kekotoran batin itu. Bagaikan pengolah (kassakupamma):28 mirip dengan para pengolah. Sebagaimana pengolah akan memperoleh buah yang unggul dan melimpah dari hasil panennya jika dia membajak sawahnya29 dll.,dan jika dia rajin dan bersemangat mengatur urusan siklus dan sistem pengairan dan penyebaran dan perlindungan (terhadap hasil buminya)30, demikian pula orang yang memberi akan memperoleh hasil yang luar biasa dan melimpah dari pemberiannya jika dia rajin dan bersemangat di dalam melayani Arahat, dan jika dia dermawan berkenaan dengan persembahan-jasanya untuk para Arahat.31 Karena alasan inilah dikatakan, ‘Bagaikan pengolah adalah mereka yang memberi’.32 Bagaikan benih adalah persembahan-jasa itu (bijupamamdeyyadhammam): diberikan dengan berbagai jenis. Artinya, persembahan-jasa itu mirip dengan benih, karena ini merupakan sebutan bagi sepuluh33 jenis benda yang akan diberikan, seperti misalnya makanan dan minuman dll. Dari inilah maka buah dihasilkan (etto nibbattate phalam) berarti bahwa dari hal-hal ini, dari (berkenaan dengan) si pemberi, si penerima dan perbuatan mempersembahkan jasa [8] inilah maka buah dari pemberian itu dihasilkan, muncul dan terus ada sebagai perpaduan dalam waktu yang cukup lama. Mengenai hal ini, karena sifat makanan dan minuman dll. memang disiapkan dengan niat untuk diberikan, maka ‘bagaikan benih adalah persembahan jasa’ berarti bagaimana memahami persembahan jasa itu. Sifatnya yang seperti benih harus dilihat lewat penentuan persembahan jasa ini, serta lewat niat perbuatan memberi, yang objeknya34 adalah benda yang dipersembahkan. Memang (niat) inilah -dan bukan persembahan jasa itu- yang menghasilkan buah yang (bergantung pada) berbagai jenis tumimbal lahir dll. dan berbagai jenis faktor yang menopangnya.

2. Benih, ladang dan pengolahan ini (etam bijam kasikhettam) berarti benih yang telah dikatakan sebelumnya, ladang yang telah dikatakan sebelumnya, dan pengolahan yang disebut sarana untuk menaburkan benih tersebut di ladang tersebut. Bagi siapakah tiga hal ini paling dibutuhkan? Beliau mengatakan, ‘bagi para peta dan bagi orang memberi.’ Jika si pemberi memberikan persembahan atas nama para peta itu, maka benih ini, pengolahan ini, dan ladang ini akan amat bermanfaat bagi para peta itu dan juga bagi si pemberi, sedangkan jika dia memberikan persembahan bukan atas nama para peta itu, maka manfaatnya hanyalah bagi si pemberi saja -demikianlah artinya. Kemudian untuk menunjukkan manfaat ini dikatakan ‘para peta memanfaatkan ini35 sedangkan si pemberi tumbuh melalui jasa itu.’ Di sini para peta memanfaatkan ini (tam peta paribhuñjanti); bila suatu persembahan diberikan oleh si pemberi atas nama para peta, maka para peta mempergunakan buah dari pemberian itu, dan ini akan bermanfaat bagi para peta karena mereka berhasil dalam hal pencapaian ladang, pengolahan, dan benih yang telah disebutkan sebelumnya, juga bagi penghargaan (yang ditunjukkan oleh para peta). Sedangkan si pemberi tumbuh melalui jasa itu (data puññena vaddhati): sedangkan si pemberi -karena perbuatan jasanya yang berlandaskan pada perbuatan memberi itu- lewat akibat tindakannya itu akan lebih bergembira di antara para dewa dan manusia.36 Akibat dari tindakan berjasa ini bisa juga disebut ‘jasa’ (saja), yaitu, ‘Lewat pencapaian keadaan-keadaan yang bermanfaat inilah, wahai para bhikkhu, maka jasa ini meningkat’* dll.

* D iii 58; juga dikutip di PvA 120 di bawah

3. Setelah melakukan di sini apa yang bermanfaat (idh’eva kusalam katva): setelah menumpuk di sini, di dalam kehidupan ini juga, jasa yang berdasarkan pada perbuatan memberi lewat (memberi) atas nama para peta, dan yang bermanfaat karena menghasilkan kesejahteraan yang tak-ternoda.37 Dan setelah menghormati para peta (pete ca patipujayam): menghormati38 lewat pemberian atas nama para peta itu sehingga mereka terlepas dari kesengsaraan yang sedang mereka jalani. Perbuatan memberi yang dilakukan atas nama peta itu39 disebut ‘menghormati mereka.’ Karena alasan inilah maka disebutkan,40 ‘Karena penghormatan telah diberikan kepada kami’ dan ‘Dan penghormatan tertinggi telah diberikan kepada para peta’. Dan (menghormati) para peta (pete ca) : [9] lewat kata ‘dan’ tercakup keuntungan-keuntungan memberi (yang dialami) di dalam kehidupan ini juga, seperti misalnya : dia amat dicintai dan dibanggakan, dia akan dihampiri dan dipercayai, dia akan dihormati, dan dia akan dipuji dan dihargai oleh para bijaksana; dll. Setelah melakukan tindakan yang menjanjikan keberhasilan ini, maka dia akan pergi menuju ke alam surgawi (saggañ ca kamati thanam kammam katvana bhaddakam): setelah melakukan tindakan yang menjanjikan keberhasilan, yang indah dan bermanfaat itu, maka dia pergi, dia mendatangi41 dengan cara muncul di alam devaloka, tempat munculnya mereka yang telah melakukan perbuatan-perbuatan berjasa dan telah memperoleh sebutan ‘surgawi’ (saggam). Alam ini sangat tinggi (sutthuaggatta)42 di dalam 10 kualitas, seperti misalnya masa-kehidupan surgawi dll.43. Di sini, setelah mengatakan ‘Setelah melakukan perbuatan yang bermanfaat’ Beliau mengulangi kata-kata ‘Setelah melakukan perbuatan yang menjanjikan keberhasilan itu’. Hal ini dapat diartikan untuk menunjukkan sebagaimana halnya memberikan persembahan jasa (yang sesungguhnya)44, demikian pula persembahan pikiran apapun (berikutnya) tentang (penentuan) persembahan itu dengan cara menyisihkan pemberian itu sendiri sudah merupakan perbuatan bermanfaat yang berlandaskan pada tindakan memberi. Beberapa orang mengatakan bahwa di sini ‘para peta’ berarti ‘para Arahat’, tetapi pendapat ini tidak berdasar. Para Arahat tidaklah mungkin kembali lagi, karena mereka telah menghancurkan segala asava, karena ada ketidakcocokan mereka dengan keadaan benih dll. serta dengan si pemberi, karena adanya istilah ‘peta’ dan karena kesesuaian (dari ini) dengan mereka yang berasal dari kandungan-peta (sendiri).

Di akhir ajaran ini, muncullah pandangan terang ke dalam Dhamma45 pada 84.000 makhluk, yang bermula dari devaputta itu dan Sulasa.

Lewat Penjelasan Arti Intrinsik ini, lewat Penjelasan mengenai Cerita Peta ini, Penjelasan mengenai Cerita Peta Bagaikan Ladang berakhir.

Catatan

  1. Terbaca kathesi dengan Se Be untuk kathesi pada teks.
  2. Jumlah di masyarakat India, biasanya dianggap 10 juta
  3. Secara harafiah, berarti pedagang kaya dengan kekayaan luar biasa.
  4. Terbacaa olokenta dengan Se be untuk olokento pada teks.
  5. Semua teks terbaca rattavannaviralamala di sini, tetapi lihat PED sv virala, di mana disarankan bahwa vl rattakanaviramala diambil. Yang terakhir ini juga menghiasi orang hukuman dengan bunga di J iii 59, iv 191, vi 406. Tidak banyak yang diketahui tentang bunga itu, kecuali disebutkan semak (gaccha) J iii 61, v.420, dan ini dibedakan dengan pohon dan tanaman rambat Vism 183. Bunganya disebutkan berciri warna merah tua (mañjettha) VvA 177, DhsA 317, bandingkan J iii 62, bukan merah seperti ciri bunga bandhujivaka D ii 111 = M ii 14, Vism 174. DhsA 317. Satu catatan dalam cerita Jataka iv 199 n.1 menduga bahwa kanivira ‘adalah vajjhamala yang ditaruh di kepala atau di leher penjahat yang akan dihukum mati’. Bandingkan juga dengan SED sv vadhya. Bunga merah yang dikenal sebagai vadamala, atau bunga sepatu, ditemukan di Ceylon dan disebut demikian karena digunakan sebagai rangkaian bunga untuk para narapidana semasa raja-raja Sinhala. Bunga ini dianggap bunga kesialan dan tidak pernah digunakan untuk persembahan pada Sang Buddha, untuk altar, atau untuk hiasan pribadi. Bhikkhu Khantipalo, seorang ahli tanaman sebelum menjadi bhikkhu, telah mempertanyakan identifikasi PED mengenai kanavira, yang disamakan dengan oleander, Nerium odorum, karena kebanyakan oleander berwarna merah jambu atau putih, bukan merah. Selain itu, dia merasa bahwa bunga oleander bersifat musiman, sehingga tidak mungkin cocok sebagai bunga ekskusi, tidak seperti vadamala yang terus ada sepanjang tahun. Apakah mungkin kanavira adalah vadamala ini, yaitu Hibiscus (Rossa-sinenssis) tunggal yang berwarna merah?
  6. Bandingkan D iii 67 = S ii 128; S iv 340 dst.; A ii 240 dst. untuk referensi lebih lanjut tentang praktek-praktek yang berhubungan dengan narapidana.
  7. vajjhapahatabheridesitamaggam, semua teks. Tetapi PED sv pahata menyarankan pembetulan dengan mencantumkan -pahata-
  8. dibbena cakkhuna
  9. bhummadevesu
  10. Terbaca tassa passantass’ eva dengan Se Be untuk tassa… pasam tass’eva pada teks.
  11. ulare devaloke, tetapi dengan vi ularena yang memberikan sifat tindakan yang berjasa, demikian : ‘walaupun dia pantas muncul di alam devaloka karena tindakan jasa superior yang dilakukannya dengan rasa hormat kepada Y.M. Moggallana’. Interpretasi ini bukannya tidak mungkin, karena Moggallana adalah ladang-jasa (bandingkan hierarki untuk yang pantas mendapatkan jasa di M iii 255), tetapi mungkin devaloka superior di sini disebutkan untuk menerangkan tingkat inferior, hinakayam, sesuai urutannya. Namun hal ini tidak menjelaskan tentang ramalan Moggallana sebelumnya bahwa dia akan muncul sebagai dewa bumi, yaitu pada tingkat yang rendah ini.
  12. sinehena, mungkin menjelaskan lebih daripada sekedar rasa terima kasih sebagaimana disarankan di urutan itu. Mungkin devaloka tingkat tinggi tersebut di atas mengacu pada Brahmaloka, atau rupavacara, dan bahwa ketidak-mampuannya mencapai ini disebabkan oleh kemelekatannya yang berlanjut pada nafsu-nafsu indera di kamavacara. Kemunculannya di tingkat rendah karena kecintaan pada lawan jenis ini merupakan tema yang muncul lagi di cerita-cerita berikutnya.
  13. Ficus indica, atau pohon-ara India.
  14. Istilah ini biasanya diterjemahkan ‘pemenang-arus’ tetapi lebih mungkin diambil dari sota yang berarti telinga, daripada sota yang berarti arus. Dengan demikian, artinya adalah ‘orang yang telah memperoleh telinga’, yaitu, orang yang telah menerima ajaran lisan Dhamma sehingga mencapai pandangan terang menembus ke dalam Dhamma seperti yang ada di akhir cerita ini. Oleh karena itu, saya tetap tidak menerjemahkan istilah ini dan istilah sotapatti- yang mirip. Lihat desertasi doktoral saya yang akan datang (University of Lancaster) mengenai hal ini dan persoalan-persoalan yang terkait.
  15. andhakaram mapetva : bandingkan ungkapan yang mirip andham akasi Maram (M I 159, 174; bandingkan A iv 434) ketika suatu kegelapan dinyatakan menyelimuti Mara, atau Mara dibuat buta oleh orang yang tetah mencapai jhana. Kesadaran dari orang yang mencapai jhana men-transenden-kan kamavacara, batas alam Mara. Akibatnya, individu itu menjadi tidak terlihat oleh Mara walaupun Mara tentu saja tetap melihat makhluk di alamnya sendiri. Secara ruang, dunia dewa bumi tidaklah berbeda dibandingkan dunia manusia, dan hanya sekedar merupakan dimensi yang berbeda saja. Tetapi karena merupakan dimensi yang berbeda maka manusia biasanya tidak dapat melihat devata. Dalam hal membuat Sulasa tidak terlihat, kemungkinan besar devata itu hanya membuat Sulasa tidak terlihat di alam manusia, terutama ibunya, dan bukan menghilangkan daya penglihatannya.
  16. Ini jangan dikacaukan lagi dengan Mahavihara di Anuradhapura yang disebutkan di atas.
  17. Terbaca patisamvedesi dengan Be untuk Se pativedesi pada teks.
  18. Terbaca mahapphalabhavakaranena dengan Se Be untuk mahapphalambhavakaranena pada teks.
  19. Terbaca etesan ti dengan Se Be untuk ete santi pada teks.
  20. Terbaca kilesarinam dengan Be untuk Se kilesanam pada teks.
  21. Terbaca samsaracakkassa kilesarinam dengan Be untuk Se -vattassa pada teks.
  22. Bandingkan A iv 145 di mana tujuh hal seperti itu didaftar.
  23. Untuk etimologi yang mirip tentang ‘arahat’ lihat DA 146; VvA 105 dst.
  24. Be menyarankan bahwa yang dipersiapkan dengan baik adalah benih dan persembahan-jasa.
  25. Terbaca ukkatthaniddeso dengan Se Be untuk ukkatthaniddeso pada teks; dengan kata lain, arahat -anggota ladang yang paling tinggi- di sini pars pro toto.
  26. Se khettassa va patikkhepato pada teks harus diubah agar terbaca khettass’ evapatikkhepato; bandingkan Be khettabhavapatikkhepato. Mereka yang masih belajar adalah sotapanna, yang-kembali-sekali-lagi dan yang-tidak-kembali-lagi.
  27. Terbaca tesam dengan Se Be untuk tena pada teks.
  28. Teks salah mengeja kassupama
  29. Terbaca -khettadini kasitva dengan Se Be untuk -khettadinam kassitva pada teks.
  30. vattudakadananiharananidhanarakkhanadihi.
  31. Terbaca arahantesu deyya- dengan Se Be untuk arahante sudeyya- pada teks.
  32. Teks salah mengeja dayaka; seharusnya terbaca dayaka seperti di dalam syair.
  33. Daftar yang memuat empat belas hal seperti itu muncul di dalam Nd2523, Nd1373.
  34. Terbaca deyyadhammavatthuvisayaya pariccagacetanaya yeva dengan Se Be untuk deyyadhammavatthuvisayayapariccagato nayayeva pada teks; persembahan-jasa, bagaikan benih, harus diberikan, ditanam, jika diharapkan menghasilkan buah di kemudian hari.
  35. tam, demikian Se Be dan syair; teks menghilangkannya.
  36. Terbaca devamanussesu bhoga- dengan Se Be untuk devamanusse subhoga- pada teks.
  37. anavajjasukhavipaka-; bandingkan D i 70 = M i 180 = 269 = 346 = A ii 210 = v 206
  38. Terbaca sammanetva dengan Se Be untuk sampadetva pada teks; tidak terdapat di PED.
  39. Terbaca pete dengan Se Be untuk te pada teks.
  40. Masing-masing Pv I 55 dan I 512. Tanda baca teks seharusnya dibetulkan agar terbaca dengan Se Be : Tenaha : amhakan ca kata puja ti petanam puja ca kata ulara ti ca. Pete ca ti ca-saddena…
  41. Terbaca upagacchati dengan Be untuk Se uppajjati pada teks.
  42. Bandingkan PvA 89 di bawah untuk penjelasan yang mirip.
  43. Dijelaskan di Pv II 959-60 di bawah.
  44. Terbaca deyyadhammaparicccago dengan Se Be untuk deyyadhammam pariccago
  45. dhammabhisamayo, yaitu, memperoleh Dhammacakkhu S ii 134, penglihatan Dhamma di mana Empat Kebenaran Mulia langsung dipahami, misalnya M I 380; bandingkan Asl.242 dst. (Penjelasan 323 dst.) yang membuat orang menjadi sotapanna. Oleh karena itu hal ini bukanlah perubahan ‘semu’ seperti yang disarankan oleh PED sv abhisamaya.