Sattaka

BAB TUJUH

Kelompok Tujuh

141. Seorang Sahabat

Para bhikkhu, seorang sahabat patut diikuti bila dia memiliki tujuh faktor. Apakah yang tujuh itu? Dia memberikan apa yang sulit diberikan; dia melakukan apa yang sulit dilakukan; dia dengan sabar menanggung apa yang sulit ditanggung; dia memberitahukan rahasianya sendiri; dia menjaga rahasia orang lain; dia tidak meninggalkan orang di dalam kemalangan; dia tidak menghina seseorang karena kemalangannya. Seorang sahabat patut diikuti bila dia memiliki tujuh faktor ini.

(VII, 35)

142. Tujuh Persepsi

Tujuh persepsi ini, para bhikkhu, bila dikembangkan dan diolah akan memberikan buah dan manfaat yang besar, berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian.1 Apakah yang tujuh itu? Persepsi tentang sifat yang menjijikkan, persepsi tentang kematian, persepsi tentang sifat makanan yang menjijikkan, persepsi tentang tidak menariknya seluruh dunia, persepsi tentang ketidakkekalan, persepsi tentang penderitaan di dalam ketidakkekalan, persepsi tentang tanpa-diri di dalam apa yang merupakan penderitaan.

(1) Ketika dikatakan, “Persepsi tentang sifat yang menjijikkan, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian”, mengapa hal ini dikatakan demikian?2 Bila seorang bhikkhu sering memikirkan persepsi tentang sifat yang menjijikkan, maka pikirannya akan menjauhkan diri dari hubungan seksual, berbalik darinya, menggelinding menjauh darinya, serta tidak tertarik padanya, dan ketenangseimbangan atau pun rasa muak terhadap hubungan seksual akan mantap di dalam dirinya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau sepotong otot yang dilemparkan ke dalam api akan mengkerut menjauh darinya, berbalik darinya, menggelinding menjauh darinya, serta tidak tertarik padanya, begitu pula seorang bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang sifat yang menjijikkan.

Bila pikiran seorang bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang sifat yang menjijikkan cenderung pada hubungan seksual, atau jika ketidakmuakan terhadap hubungan seksual terbentuk di dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya belum mengembangkan persepsi tentang sifat yang menjijikkan; saya belum memperoleh tahap-tahap kesucian yang berurutan, saya belum mencapai buah karena mengembangkan meditasi ini.” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya. Tetapi jika pikirannya menjauhkan diri dari hubungan seksual … dan ketenangseimbangan atau pun rasa muak terbentuk dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya telah mengembangkan persepsi tentang sifat-sifat yang menjijikkan, saya telah memperoleh tahap-tahap kesucian yang berurutan, saya telah mencapai buah karena mengembangkan meditasi ini.” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya.

Karena hal inilah dikatakan: “Persepsi tentang sifat yang menjijikkan, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian.”

(2) Ketika dikatakan, “Persepsi tentang kematian, jika dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian”, mengapa hal ini dikatakan demikian?3 Bila seorang bhikkhu sering memikirkan persepsi tentang kematian, pikirannya akan mengkerut menjauh dari kecintaan terhadap kehidupan, berbalik darinya, menggelinding menjauh darinya, serta tidak tertarik padanya, dan ketenangseimbangan atau kemuakan terhadapnya terbentuk di dalam dirinya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau sepotong otot yang dilemparkan ke dalam api akan mengkerut menjauh darinya … begitu pula seorang bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang kematian.

Bila pikiran seorang bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang kematian cenderung mencintai kehidupan, atau jika ketidakmuakan terhadapnya terbentuk di dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya belum mengembangkan persepsi tentang kematian ….” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya. Tetapi jika pikirannya mengkerut menjauh dari kecintaan terhadap kehidupan … dan ketenangseimbangan atau kemuakan terbentuk di dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya telah mengembangkan persepsi tentang kematian ….” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya.

Karena hal inilah dikatakan: “Persepsi tentang kematian, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian.”

(3) Ketika dikatakan, “Persepsi tentang sifat makanan yang menjijikkan, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian”, mengapa hal ini dikatakan demikian?4 Bila seorang bhikkhu sering memikirkan persepsi tentang sifat makanan yang menjijikkan, pikirannya akan mengkerut menjauh dari keserakahan terhadap cita-rasa, berbalik darinya, menggelinding menjauh darinya, serta tidak tertarik padanya, dan ketenangseimbangan atau kemuakan terhadapnya terbentuk di dalam dirinya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau sepotong otot yang dilemparkan ke dalam api akan mengkerut menjauh darinya … begitu pula bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang kematian.

Bila pikiran seorang bhikkhu yang sering merenungkan persepsi tentang sifat makanan yang menjijikkan cenderung menuju keserakahan terhadap cita rasa, atau jika non-rasa muak terhadapnya terbentuk dalam dirinya, dia harusnya memahami: “Saya belum mengembangkan persepsi tentang sifat makanan yang menjijikkan ….” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya. Tetapi jika pikirannya mengkerut menjauh dari keserakahan terhadap cita-rasa …. dan ketenangseimbangan atau kemuakan terbentuk di dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya telah mengembangkan persepsi tentang sifat makanan yang menjijikkan…” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya.

Karena hal inilah dikatakan: “Persepsi tentang sifat makanan yang menjijikkan, jika dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian.”

(4) Ketika dikatakan, “Persepsi tentang tidak menariknya seluruh dunia, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian”, mengapa hal ini dikatakan demikian?5 Bila seorang bhikkhu sering memikirkan persepsi tentang tidak menariknya seluruh dunia, pikirannya akan mengkerut menjauh dari buah-buah pikir duniawi, berbalik darinya, menggelinding menjauh darinya, dan tidak tertarik padanya, dan ketenangseimbangan atau kemuakan terhadapnya terbentuk di dalam dirinya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau sepotong otot yang dilemparkan ke dalam api akan mengkerut menjauh darinya … begitu pula bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang tidak menariknya seluruh dunia.

Bila pikiran seorang bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang tidak menariknya seluruh dunia cenderung pada buah-buah pikir duniawi, atau jika ketidakmuakan terhadapnya terbentuk di dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya belum mengembangkan persepsi tentang tidak menariknya seluruh dunia ….” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya. Tetapi jika pikirannya mengkerut menjauh dari buah-buah pikir duniawi …. dan ketenangseimbangan atau kemuakan terhadapnya terbentuk di dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya telah mengembangkan persepsi tentang tidak menariknya seluruh dunia ….” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya.

Karena hal inilah dikatakan: “Persepsi tentang tidak menariknya seluruh dunia, jika dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian.”

(5) Ketika dikatakan, “Persepsi tentang ketidakkekalan, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian”, mengapa hal ini dikatakan demikian?6 Bila seorang bhikkhu sering memikirkan persepsi tentang ketidakkekalan, pikirannya akan mengkerut menjauh dari perolehan, penghormatan dan pujian, berbalik darinya, menggelinding menjauh darinya, serta tidak tertarik padanya, dan ketenangseimbangan atau kemuakan terhadapnya terbentuk di dalam dirinya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau sepotong otot yang dilemparkan ke dalam api akan mengkerut menjauh darinya … begitu pula bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang ketidakkekalan.

Bila pikiran seorang bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang ketidakkekalan cenderung pada perolehan, penghormatan dan pujian, atau bila ketidakmuakan terhadapnya terbentuk di dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya belum mengembangkan persepsi tentang ketidakkekalan ….” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya. Tetapi bila pikirannya mengkerut menjauh dari perolehan, penghormatan dan pujian …. dan ketenangseimbangan atau kemuakan terbentuk di dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya telah mengembangkan persepsi tentang ketidakkekalan ….” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya.

Karena hal inilah dikatakan: “Persepsi tentang ketidakkekalan, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian.”

Ketika dikatakan, “Persepsi tentang penderitaan di dalam ketidakkekalan, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian”, mengapa hal ini dikatakan demikian? Bila seorang bhikkhu sering memikirkan persepsi tentang penderitaan di dalam ketidakkekalan, maka terbentuk di dalam dirinya persepsi yang tajam tentang bahaya sehubungan dengan kelambanan, keengganan, kemalasan mental, kelalaian, tanpa-bakti dan tanpa-perhatian, seolah-olah terhadap seorang pembunuh dengan pedang terhunus. Jika suatu persepsi yang amat tajam tentang bahaya itu tidak terbentuk di dalam diri seorang bhikkhu yang sering memikirkan persepsi tentang penderitaan di dalam ketidakkekalan, dia akan memahami: “Saya belum mengembangkan persepsi tentang penderitaan di dalam ketidakkekalan ….” Jadi dia dengan jelas memahami situasinya. Tetapi jika persepsi tentang bahaya semacam itu sudah terbentuk di dalam dirinya, dia akan memahami: “Saya telah mengembangkan persepsi tentang penderitaan di dalam ketidakkekalan ….” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya.

Karena hal inilah dikatakan: “Persepsi tentang penderitaan di dalam ketidakkekalan, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian.”

(7) Ketika dikatakan, “Persepsi tentang tanpa-diri di dalam apa yang merupakan penderitaan, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian”, mengapa hal ini dikatakan demikian? Bila seorang bhikkhu sering memikirkan persepsi tentang tanpa-diri di dalam apa yang merupakan penderitaan, aktivitas mentalnya akan kosong dari bentukan-aku, bentukan-milikku dan kesombongan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini beserta semua objek luar; perbedaan telah dilampaui dan aktivitas mentalnya menjadi damai dan terbebas dengan baik.7 Jika seorang bhikkhu sering memikirkan persepsi tentang tanpa-diri di dalam apa yang merupakan penderitaan, namun aktivitas mentalnya tidak maju dengan cara itu, dia akan memahami: “Saya belum mengembangkan persepsi tentang tanpa-diri di dalam apa yang merupakan penderitaan; saya belum memperoleh tahap-tahap kesucian yang berurutan; saya belum mencapai buah karena mengembangkan meditasi ini.” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya. Tetapi jika aktivitas mentalnya maju dengan cara itu, dia akan memahami: “Saya telah mengembangkan persepsi tentang tanpa-diri di dalam apa yang merupakan penderitaan; saya telah mencapai tahap-tahap kesucian yang berurutan; saya telah mencapai buah karena mengembangkan meditasi ini.” Demikianlah dengan jelas dia memahami situasinya.

Karena hal inilah dikatakan: “Persepsi tentang tiada-diri di dalam apa yang merupakan penderitaan, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian.”

Tujuh persepsi ini, para bhikkhu, bila dikembangkan dan diolah, akan memberikan buah dan manfaat yang besar, yang berlandaskan pada Tanpa-kematian, memuncak pada Tanpa-kematian.

(VII, 46)

143. Tujuh Belenggu Seksualitas

Suatu ketika brahmana Janussoni menghampiri Yang Terberkahi, bertegur sapa dan berkata kepada Beliau: “Apakah Guru Gotama juga menyatakan menjalani kehidupan suci selibat?”8

“Brahmana, seandainya saja orang yang berbicara dengan benar harus mengatakan tentang seseorang, ‘Dia menjalani kehidupan suci yang murni, sempurna, dan selibat, tak-patah, tak-terkoyak, tak-robek, tak-kotor, tak-cacat’, maka tentang akulah orang itu berbicara. Akulah yang menjalani kehidupan suci yang murni, sempurna, dan selibat, tak-patah, tak-terkoyak, tak-robek, tak-kotor, tak-cacat.”

“Tetapi, Guru Gotama, apakah yang merupakan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dari kehidupan suci selibat?”

“Di sini, brahmana, seorang petapa atau brahmana menyatakan selibat secara sempurna, dan dia sesungguhnya tidak berhubungan seksual dengan wanita. Tetapi dia membiarkan dirinya diminyaki, dipijat, dimandikan dan diusap oleh wanita; dia menyukainya, merindukannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini merupakan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dari kehidupan suci selibat. Dia disebut orang yang menjalani kehidupan selibat yang tidak murni, orang yang dikotori oleh belenggu seksualitas. Dia tidak terbebas dari kelahiran, usia tua dan kematian, tidak juga terbebas dari kepedihan, ratap tangis, kesengsaraan, kesedihan dan keputus asaan; dia tidak terbebas dari penderitaan, demikian kunyatakan.

“Selanjutnya, brahmana, ada petapa atau brahmana yang menyatakan selibat secara sempurna, dan dia sesungguhnya tidak berhubungan seksual dengan wanita, dan dia tidak membiarkan dirinya diminyaki, dipijat, dimandikan dan diusap oleh wanita. Tetapi dia bergurau dengan wanita, bermain bersama mereka dan menghibur diri bersama mereka; dia menyukainya, merindukannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini juga merupakan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dari kehidupan suci selibat … dia tidak terbebas dari penderitaan, demikian kunyatakan.

“Selanjutnya, brahmana, ada petapa atau brahmana yang menyatakan selibat secara sempurna … dan dia tidak bergurau dengan wanita, bermain bersama mereka dan menghibur diri bersama mereka. Tetapi dia memandangi wanita dan bertatap mata dengan mereka; dia menyukainya, merindukannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini juga merupakan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dari kehidupan suci selibat … dia tidak terbebas dari penderitaan, demikian kunyatakan.

“Selanjutnya, brahmana, ada petapa atau brahmana yang menyatakan selibat secara sempurna … dan dia tidak memandangi wanita dan bertatap mata dengan mereka. Tetapi dia mendengarkan suara wanita di balik dinding atau melalui pagar sementara wanita-wanita itu tertawa, berbicara, menyanyi atau menangis; dia menyukainya, merindukannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini juga merupakan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dari kehidupan suci selibat … dia tidak terbebas dari penderitaan, demikian kunyatakan.

“Selanjutnya, brahmana, ada petapa atau brahmana yang menyatakan selibat secara sempurna… dan dia tidak mendengarkan suara wanita di balik dinding … sementara mereka menangis. Tetapi dia mengingat gelak tawa dan percakapan serta bermain dengan para wanita di masa lalu; dia menyukainya, merindukannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini juga merupakan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dari kehidupan suci selibat … dia tidak terbebas dari penderitaan, demikian kunyatakan.

“Selanjutnya, brahmana, ada petapa atau brahmana yang menyatakan selibat secara sempurna … dan dia tidak mengingat gelak tawa dan percakapan serta bermain dengan para wanita di masa lalu. Tetapi dia memandangi perumah tangga atau putra seorang perumah tangga yang bersenang-senang karena memiliki dan dilengkapi dengan lima tali kesenangan indera; dia menyukainya, merindukannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini juga merupakan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dari kehidupan suci selibat … dia tidak terbebas dari penderitaan, demikian kunyatakan.

“Selanjutnya, brahmana, ada petapa atau brahmana yang menyatakan selibat secara sempurna … dan dia tidak memandangi perumah tangga atau putra perumah tangga yang bersenang-senang karena memiliki dan dilengkapi dengan lima tali kesenangan indera. Tetapi dia menjalani kehidupan suci dengan aspirasi terlahir lagi di salah satu alam dewa, dengan berpikir, ‘Lewat peraturan ini atau tekad ini atau kerasnya latihan atau kehidupan suci ini saya akan menjadi dewa yang besar atau dewa yang lebih rendah’; dia menyukainya, merindukannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini juga merupakan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dari kehidupan suci selibat. Dia disebut orang yang menjalani kehidupan selibat yang tidak murni, orang yang dikotori oleh belenggu seksualitas. Dia tidak terbebas dari kelahiran, usia tua dan kematian, tidak juga terbebas dari kepedihan, ratap tangis, kesengsaraan, kesedihan dan keputus asaan; dia tidak terbebas dari penderitaan, demikian kunyatakan.

“Brahmana, selama kulihat bahwa satu atau lebih dari tujuh belenggu seksualitas ini belum ditinggalkan di dalam diriku, selama itu pula aku tidak menyatakan bahwa aku telah terjaga pada pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan para dewa, Mara dan Brahmanya, di dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmananya, para dewa dan manusianya. Tetapi ketika kulihat tidak satu pun dari tujuh belengu seksualitas ini yang belum dilenyapkan di dalam diriku, maka kunyatakan bahwa aku telah terjaga pada pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan … dewa dan manusianya.

“Pengetahuan dan pandangan ini muncul di dalam diriku: ‘Tak tergoyahkan pembebasan pikiranku; ini adalah kelahiranku yang terakhir; kini tidak ada lagi dumadi selanjutnya.”‘

Ketika hal ini dikatakan, brahmana Janussoni berkata kepada Yang Terberkahi: “Luar biasa, Guru Gotama! … Biarlah Guru Gotama menerima saya sebagai pengikut awam yang telah pergi berlindung sejak hari ini sampai akhir hayat.”

(VII, 144)

144. Penyatuan dan Penjauhan Diri

Para bhikkhu, aku akan mengajarkan penjelasan Dhamma tentang penyatuan dan penjauhan diri. Dengarkanlah baik-baik.

Para bhikkhu, apakah penjelasan tentang penyatuan dan penjauhan diri itu? Secara internal seorang wanita memperhatikan kemampuan femininnya, perilaku femininnya, sikap femininnya, cara-cara femininnya, nafsu femininnya, suara femininnya, perhiasan femininnya sendiri. Dia menjadi terangsang olehnya dan menikmatinya. Karena terangsang, secara eksternal dia memperhatikan kemampuan maskulin pria, perilaku maskulinnya, sikap maskulinnya, cara-cara maskulinnya, nafsu maskulinnya, suara maskulinnya, perhiasan maskulinnya. Wanita itu menjadi terangsang olehnya dan menikmatinya. Kemudian dia menginginkan penyatuan secara eksternal, dan dia juga menginginkan kesenangan dan kegembiraan yang muncul dari penyatuan seperti itu. Karena menikmati kefemininannya, melekat padanya, dia kemudian menyatu dengan pria. Dengan cara inilah seorang wanita tidak mentransendenkan kefemininannya.

Seorang pria memperhatikan kemampuan maskulinnya, perilaku maskulinnya, sikap maskulinnya, cara-cara maskulinnya, nafsu maskulinnya, suara maskulinnya, perhiasan maskulinnya sendiri. Dia menjadi terangsang olehnya dan menikmatinya. Karena terangsang, secara eksternal dia memperhatikan kemampuan feminin seorang wanita, perilakunya, sikap femininnya, cara-cara femininnya, nafsu femininnya, suara femininnya, perhiasan femininnya. Dia menjadi terangsang olehnya dan menikmatinya. Kemudian dia menginginkan penyatuan secara eksternal, dan dia juga menginginkan kesenangan dan kegembiraan yang muncul dari penyatuan seperti itu. Karena menikmati kemaskulinannya, melekat padanya, dia kemudian menyatu dengan wanita. Dengan cara inilah seorang pria tidak mentransendenkan kemaskulinannya.

Dengan cara demikianlah terdapat penyatuan. Kemudian, para bhikkhu, bagaimana ada penjauhan diri?

Seorang wanita secara internal tidak memperhatikan kemampuan femininnya … perhiasan femininnya sendiri. Dia tidak menjadi terangsang olehnya dan tidak menikmatinya. Karena tidak terangsang, dia secara eksternal tidak memperhatikan kemampuan maskulin seorang pria … terhadap perhiasan maskulinnya. Dia tidak terangsang olehnya dan tidak menikmatinya. Dengan demikian dia tidak menginginkan penyatuan secara eksternal, tidak juga dia menginginkan kesenangan dan kegembiraan yang muncul dari penyatuan seperti itu. Karena tidak menikmati kefemininannya, tidak melekat padanya, dia menjadi jauh dari pria. Dengan cara inilah seorang wanita mentransendenkan kefemininannya.9

Seorang pria tidak memperhatikan secara internal kemampuan maskulinnya sendiri… perhiasan maskulinnya. Dia tidak menjadi terangsang olehnya atau menikmatinya. Karena tidak terangsang, dia secara eksternal tidak memperhatikan kemampuan feminin seorang wanita… perhiasan femininnya. Dia tidak menjadi terangsang olehnya dan tidak menikmatinya. Dengan demikian dia tidak menginginkan penyatuan secara eksternal, tidak juga dia menginginkan kesenangan dan kegembiraan yang muncul dari penyatuan seperti itu. Karena tidak menikmati kemaskulinannya, tidak melekat padanya, dia menjadi jauh dari wanita. Dengan cara inilah seorang pria mentransendenkan kemaskulinannya.

Dengan cara demikianlah terdapat penjauhan diri.

Para bhikkhu, inilah penjelasan Dhamma mengenai penyatuan dan penjauhan diri.

(VII, 48)

145. Tidak Perlu Penyembunyian

Para bhikkhu, ada empat hal yang tidak perlu disembunyikan Sang Tathagata, dan tiga cara di mana Sang Tathagata tanpa cela.

Dan para bhikkhu, apakah empat hal yang tidak perlu disembunyikan Sang Tathagata itu? Perilaku fisik Sang Tathagata telah murni; tidak ada perilaku fisik yang salah di pihak Sang Tathagata yang mungkin perlu disembunyikan, karena berpikir, “Biarlah orang lain tidak mengetahui hal ini.” Perilaku ucapan Sang Tathagata telah murni … Perilaku mentalnya telah murni … Penghidupannya telah murni. Tidak ada penghidupan yang salah di pihak Sang Tathagata yang mungkin perlu disembunyikan, karena berpikir, “Biarlah orang lain tidak mengetahui hal ini.”

Para bhikkhu, inilah empat hal yang tidak perlu disembunyikan Sang Tathagata. Dan apakah tiga cara di mana Sang Tathagata tanpa cela?

Para bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Tathagata. Aku tidak melihat alasan apa pun di mana seorang petapa atau brahmana atau dewa atau Mara atau Brahma atau siapa pun di dunia ini bisa secara nalar mencelaku sambil berkata, ‘Untuk alasan inilah Dhamma Anda tidak dibabarkan dengan baik.’ Karena aku tidak melihat alasan seperti itu, aku berdiam dengan aman, tiada takut, dan percaya diri.

Cara menuju ke Nibbana telah dinyatakan dengan baik olehku kepada para siswa, sehingga siswa-siswaku yang berpraktek sesuai dengannya, dengan hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran tanpa-noda, pembebasan lewat kebijaksanaan, karena telah merealisasikan bagi dirinya sendiri lewat pengetahuan lansung aku tidak melihat alasan apa pun di mana seorang petapa … atau siapa pun di dunia ini yang bisa secara nalar mencelaku sambil berkata, “Untuk alasan inilah jalan menuju Nibbana belum dinyatakan dengan baik olehmu.” Karena aku tidak melihat alasan seperti itu, aku berdiam dengan aman, tiada takut dan percaya diri.

Beratus-ratus siswa di dalam kelompokku, dengan hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam di dalam pembebasan tanpa-noda, pembebasan lewat kebijaksanaan, karena telah merealisasikan bagi diri mereka sendiri lewat pengetahuan langsung. Aku tidak melihat alasan apa pun di mana seorang petapa … atau siapa pun di dunia ini yang bisa secara nalar mencelaku sambil berkata, “Untuk alasan inilah maka tidaklah benar bahwa beratus-ratus siswa di dalam kelompokmu … masuk dan berdiam di dalam pembebasan tanpa-noda, pembebasan lewat kebjiksanaan, karena telah merealisasikannya sendiri lewat pengetahuan langsung.” Karena aku tidak melihat alasan seperti itu, aku berdiam dengan aman, tiada takut dan percaya diri.

Inilah, para bhikkhu, tiga cara di mana aku tidak tercela.

Inilah, para bhikkhu, empat hal di mana Sang Tathagata tidak perlu menyembunyikan dan tiga cara di mana Sang Tathagata tidak tercela.

(VII, 55)

146. Menghindari Rasa Kantuk

Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di negara Bhagga di dekat kota Sumsumaragiri, di Taman Rusa di Hutan Bhesakala. Pada kesempatan itu YM Mahamoggallana yang berdiam di Magadha di dekat desa Kallavalamutta, terkantuk-kantuk di tempat duduknya.10

Yang Terberkahi melihat hal ini dengan mata dewanya yang murni dan supra-normal. Setelah mengetahui hal ini, Beliau lenyap dari Taman Rusa di Hutan Bhesakala, dan secepat pria yang kuat meregangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang teregang, dia muncul di hadapan YM Mahamoggalana. Yang Terberkahi duduk di tempat yang disiapkan dan berkata kepada YM Mahamoggalana:

“Apakah engkau sedang terkantuk-kantuk, Moggalana, apakah engkau sedang terkantuk-kantuk?” – “Ya, Bhante”.

(1) “Kalau demikian, Moggalana, pada buah-pikir apa pun rasa kantuk menyerangmu, janganlah engkau memberikan perhatian pada buah-pikir itu. Maka, dengan melakukan hal itu, mungkin rasa kantukmu akan lenyap.

(2) “Tetapi jika dengan melakukan hal itu rasa kantukmu tidak lenyap, maka engkau harus merenungkan Dhamma sebagaimana yang telah kau pelajari dan kuasai, engkau harus memeriksa dengan menyelidikinya dengan cermat di dalam pikiranmu. Maka, dengan melakukan hal itu, mungkin rasa kantukmu akan lenyap.

(3) “Tetapi jika dengan melakukan hal itu rasa kantukmu tidak lenyap, maka engkau harus secara mendetil mengulang Dhamma sebagaimana yang telah kau pelajari dan kuasai. Maka, dengan melakukan hal itu, mungkin rasa kantukmu akan lenyap.

(4) “Tetapi jika dengan melakukan hal itu rasa kantukmu tidak lenyap, maka engkau harus menarik kedua daun telingamu dan menggosok kakimu dengan tangan. Maka, dengan melakukan hal itu, mungkin rasa kantukmu akan lenyap.

(5) “Tetapi jika dengan melakukan hal itu rasa kantukmu tidak lenyap, maka engkau harus bangkit dari tempat dudukmu, dan setelah membasuh matamu dengan air, engkau harus memandang ke segala arah dan ke atas ke bintang-bintang dan konstelasi. Maka, dengan melakukan hal itu, mungkin rasa kantukmu akan lenyap.

(6) “Tetapi jika dengan melakukan hal itu rasa kantukmu tidak lenyap, maka engkau harus memperhatikan persepsi sinar, memecahkan persepsi siang hari: sebagaimana siang hari, demikian pula malam hari, sebagaimana malam hari, demikian pula siang hari. Demikianlah, dengan hati yang terbuka dan tak terbebani, engkau harus mengembangkan pikiran yang bersinar. Maka, dengan melakukan hal itu, mungkin rasa kantukmu akan lenyap.

(7) “Tetapi jika dengan melakukan hal itu rasa kantukmu tidak lenyap, maka dengan indera yang diarahkan ke dalam dan pikiran yang tidak berkelana keluar, engkau harus berjalan ke sana kemari, dengan sepenuhnya menyadari proses berjalan ke sana ke mari itu. Maka, dengan melakukan hal itu, mungkin rasa kantukmu akan lenyap.

“Tetapi jika dengan melakukan hal itu rasa kantukmu tidak lenyap, maka dengan waspada dan pemahaman yang jelas, engkau bisa berbaring seperti singa, pada sisi sebelah kanan, menempatkan satu kaki di atas yang lain, sambil tetap mengingat buah-pikir tentang kemunculan; dan pada saat terjaga engkau dengan cepat bangkit sambil berpikir, ‘Saya tidak boleh bermanja-manja di dalam kesenangan beristirahat dan berbaring, di dalam kesenangan tidur.’

“Demikianlah Moggalana, engkau seharusnya melatih diri.

“Selanjutnya, Moggalana, engkau seharusnya melatih diri dengan berpikir. Engkau harus berpikir, ‘Ketika mengunjungi para keluarga (pada saat mengumpulkan dana makanan) saya tidak akan membiasakan diri untuk sombong.’ Demikianlah seharusnya engkau melatih diri.

“Di dalam para keluarga itu, orang-orang mungkin sibuk bekerja sehingga tidak melihat kedatangan seorang bhikkhu. Jika seorang bhikkhu (jika membiasakan diri untuk sombong) mungkin berpikir, ‘Siapa, kira-kira, yang telah menjauhkan aku dari keluarga ini? Orang-orang ini kelihatannya tidak senang padaku.’ Jadi, karena tidak menerima (dana makanan dari mereka), dia merasa jengkel; karena jengkel, dia menjadi tidak tenang; karena tidak tenang, dia kehilangan pengendalian diri; dan jika tidak terkendali, pikirannya akan jauh dari konsentrasi.

“Selanjutnya, Moggalana, engkau seharusnya melatih diri dengan cara ini: ‘Saya tidak akan menyampaikan percakapan yang menyebabkan pertengkaran.’ Demikianlah seharusnya engkau melatih diri. Jika ada percakapan yang menyebabkan pertengkaran, berarti kata-katanya terlalu banyak; kalau terlalu banyak kata-kata, pasti ada ketidaktenangan; dia yang tidak tenang akan kehilangan pengendalian diri; dan jika dia tidak terkendali, pikirannya akan jauh dari konsentrasi.

“Moggalana, aku tidak memuji semua persahabatan, tidak juga aku mencela semua persahabatan. Aku tidak memuji persahabatan dengan bhikkhu dan umat awam. Tetapi persahabatan dengan tempat berdiam di mana hanya ada sedikit suara dan sedikit kebisingan, yang dihembus angin sejuk, jauh dari hunian manusia, yang cocok untuk kesendirian – inilah yang kupuji.”

Setelah kata-kata ini YM Mahamoggalana berkata kepada Yang Terberkahi: “Dengan cara bagaimana, Bhante, dapat dijelaskan secara ringkas bagaimana seorang bhikkhu terbebas melalui hilangnya nafsu keserakahan – orang yang telah mencapai tujuan akhir, jaminan kebebasan akhir dari belenggu, kehidupan suci yang terakhir, penyempurnaan yang terakhir, dan yang tertinggi di antara para dewa dan manusia?”11

“Di sini, Moggalana, seorang bhikkhu telah mempelajari hal ini: ‘Segala hal tidak cocok untuk dilekati.’12 Jika seorang bhikkhu telah mempelajari bahwa tidak ada sesuatu pun yang cocok untuk dilekati, dia langsung mengetahui segalanya; dengan langsung mengetahui segalanya, dia sepenuhnya memahami segalanya; jika dia sepenuhnya memahami segalanya, perasaan apa pun yang dialami -apakah menyenangkan, menyakitkan atau tidak-menyakitkan-pun-tidak-menyenangkan- sehubungan dengan perasaan-perasaan yang sama itu, dia berdiam dengan merenungkan ketidakkekalan, merenungkan hilangnya nafsu, merenungkan penghentian, merenungkan pelepasan.13 Ketika dia berdiam demikian merenungkan ketidakkekalan, hilangnya nafsu, penghentian dan pelepasan sehubungan dengan perasaan-perasaan itu, dia tidak melekati apa pun di dunia ini; tanpa kemelekatan dia tidak akan merasa gelisah; karena tidak gelisah, secara pribadi dia mencapai Nibbana. Dia memahami: ‘Hancurlah sudah kelahiran, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, tidak ada lagi apa pun untuk dunia ini.’

“Itulah, Moggalana, dengan ringkas, bagaimana seorang bhikkhu terbebas melalui hilangnya nafsu keserakahan – orang yang telah mencapai tujuan akhir, jaminan kebebasan akhir dari belenggu, kehidupan suci terakhir, penyempurnaan akhir, dan yang tertinggi di antara para dewa dan manusia.”14

(VII, 58A)

147. Cinta Kasih15

Para bhikkhu, janganlah takut akan tindakan-tindakan yang berjasa!16 Tindakan-tindakan yang berjasa ini sama dengan kebahagiaan. Aku telah mengetahui dengan baik bahwa telah lama sekali aku mengalami hasil-hasil yang dikehendaki, menyenangkan dan diinginkan dari tindakan-tindakan berjasa yang sering dilakukan.

Selama tujuh tahun aku telah mengembangkan buah-buah pikir cinta kasih. Setelah mengembangkan hati yang penuh cinta kasih selama tujuh tahun, aku tidak kembali ke dunia ini selama tujuh kalpa dari pengerutan dunia dan pengembangan dunia.17 Bilamana satu dunia hancur, aku memasuki (lewat kelahiran ulang) alam para dewa Cahaya Yang Mengalir, dan jika dunia berkembang lagi, aku terlahir ulang di istana Brahma yang kosong.18 Dan di sana dahulu aku adalah Mahabrahma, pemenang yang tak terkalahkan, yang sangat berkuasa. Dan tiga puluh enam kali aku telah menjadi Sakka, penguasa para dewa, dan beratus-ratus kali aku telah menjadi penguasa alam semesta, raja yang adil dan luhur.

(VII, 58B; pilihan)

148. Tujuh Jenis Istri

Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Savatthi di Hutan Jeta di Vihara Anatthapindika. Di pagi hari Yang Terberkahi berpakaian, mengambil mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke rumah Anatthapindika. Di sana Beliau duduk di tempat duduk yang telah disediakan. Pada waktu itu seisi rumah membuat kegaduhan dan keributan. Perumah tangga Anatthapindika menghampiri Yang Terberkahi, memberikan hormat dan duduk di satu sisi. Yang Terberkahi kemudian berkata: “Mengapa orang-orang di rumahmu membuat kegaduhan dan keributan, perumah tangga? Orang bisa berpikir mereka adalah nelayan yang berhasil menangkap banyak ikan.”

“Bhante, itu adalah Sujata, menantu perempuan kami. Dia kaya dan dibawa ke sini dari keluarga kaya. Dia tidak mematuhi ayah dan ibu mertuanya, tidak juga suaminya. Dia bahkan tidak menghormati, menghargai, menjunjung tinggi dan memuliakan Yang Terberkahi.”

Kemudian Yang Terberkahi memanggil Sujata, si menantu perempuan itu: “Datanglah kemari, Sujata.”

“Ya, Bhante”, jawabnya. Sujata datang mendekat Yang Terberkahi, memberikan hormat dan duduk di satu sisi. Yang Terberkahi kemudian berkata kepadanya, “Ada tujuh macam istri, Sujata. Apakah yang tujuh itu? Istri yang seperti pembunuh, yang seperti pencuri, yang seperti tiran, yang seperti seorang ibu, yang seperti saudara perempuan, yang seperti sahabat, dan yang seperti pelayan. Inilah tujuh macam istri itu. Nah, termasuk yang manakah engkau?”

“Saya tidak memahami secara terperinci arti dari pernyataan singkat Yang Terberkahi. Akan lebih baik bila Bhante mengajar saya sedemikian rupa sehingga saya dapat memahami artinya secara terperinci.”

“Kalau demikian, dengarkanlah, Sujata, dan perhatikan dengan seksama. Aku akan berbicara.”

“Ya, Bhante”, Sujata si menantu menjawab. Yang Terberkahi mengatakan hal ini:

“Dengan pikiran penuh kebencian, dingin dan tanpa nurani,
Bernafsu pada yang lain, merendahkan suaminya;
Berusaha membunuh orang yang membeli dia –
Istri semacam itu disebut seorang pembunuh.

Ketika suaminya memperoleh kekayaan
Dari keterampilan atau usaha atau kerja tani,
Dia mencoba mencuri kecil-kecilan untuk dirinya sendiri –
Istri semacam itu disebut seorang pencuri.

Si serakah yang malas, cenderung menganggur,
Keras, galak, kasar dalam ucapan,
Wanita yang mempermainkan penopangnya sendiri –
Istri semacam itu disebut seorang tiran.

Orang yang selalu membantu dan baik hati,
Yang menjaga suaminya bagaikan ibu menjaga anaknya,
Yang dengan cermat melindungi kekayaan yang diperoleh si suami –
Istri semacam itu disebut seorang ibu.

Dia yang menjunjung tinggi suaminya,
Bagaikan adik menjunjung saudara tuanya,
Yang dengan rendah hati menuruti kemauan suami –
Istri semacam itu disebut seorang saudara.

Orang yang bersuka cita melihat suaminya
Bagaikan sahabat yang menyambut sahabat lain,
Terdidik dengan baik, luhur, berbakti –
Istri semacam itu disebut seorang sahabat

Orang yang tak memiliki kemarahan, yang takut dihukum,
Yang bertahan dengan suaminya, bebas dari kebencian,
Yang dengan rendah hati menuruti kemauan suami –
Istri semacam itu disebut seorang pelayan.19

Berbagai macam istri yang di sini disebut seorang pembunuh,
Seorang pencuri, dan istri seperti tiran,
Istri-istri semacam ini, bersama hancurnya tubuh,
Akan terlahir lagi di neraka yang dalam.

Namun istri seperti seorang ibu, saudara, sahabat,
Dan istri yang disebut seorang pelayan,
Mantap dalam keluhuran, sudah lama terkendali,
Bersama hancurnya tubuh akan pergi ke surga.

“Sujata, inilah tujuh macam istri. Termasuk yang manakah engkau?”

“Mulai hari ini, Bhante, anggaplah saya sebagai istri seperti pelayan.”

(VII, 59)

149. Pengembangan Mental

Para bhikkhu, walaupun seorang bhikkhu yang tidak mengerahkan diri untuk pengembangan meditatif pikirannya20 mungkin berharap, “O, semoga pikiranku bisa terbebas dari noda-noda lewat ketidakmelekatan!”, tetapi pikirannya tidak akan terbebas. Mengapa demikian? Harus dikatakan, “Karena dia tidak mengembangkan pikirannya.” Tidak mengembangkan pikirannya di dalam hal apa? Di dalam empat landasan kewaspadaan, empat jenis usaha benar, empat landasan keberhasilan, lima kemampuan spiritual, lima kekuatan spiritual, tujuh faktor pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan.21

Misalnya, para bhikkhu, ada ayam betina yang memiliki delapan, sepuluh atau duabelas telur, tetapi dia tidak cukup lama mengeraminya dan telur-telur itu tidak dihangatkan dengan baik, tidak cukup dikembangkan untuk menetas. Walaupun ayam betina itu mungkin berharap: “O, semoga anak-anak ayamku bisa memecahkan kulit telur dengan cakar dan paruhnya dan muncul dengan selamat!”, tetapi anak-anak ayam ini tidak akan dapat melakukannya. Mengapa? Karena induk itu tidak cukup lama mengerami telur-telurnya, sehingga telur-telur itu tidak dihangatkan dengan baik dan cukup berkembang untuk menetas. Demikian pula halnya bhikkhu yang tidak mengerahkan diri untuk pengembangan meditatif pikirannya.

Tetapi jika seorang bhikkhu telah mengerahkan diri untuk pengembangan meditatif pikirannya, sekalipun jika dia tidak mengharapkan, “O, semoga pikiranku terbebas dari noda-noda lewat ketidakmelekatan!”, tetap saja pikirannya akan terbebas. Mengapa? Harus dikatakan, “Karena dia telah mengembangkan pikirannya.” Mengembangkan pikiran di dalam hal apa? Di dalam empat landasan kewaspadaan, empat jenis usaha benar, empat landasan keberhasilan, lima kemampuan spiritual, lima kekuatan spiritual, tujuh faktor pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Misalnya, para bhikkhu, seekor ayam betina memiliki delapan, sepuluh atau duabelas telur, dan dia sudah cukup lama mengeraminya, sehingga telur-telur itu cukup hangat dan cukup berkembang untuk menetas. Sekalipun jika ayam itu tidak mengharapkan, “O, semoga anak-anak ayamku bisa memecahkan kulit telur dengan cakar dan paruhnya dan muncul dengan selamat!”, tetap saja anak-anak ayam itu akan memecahkan kulit telur dan keluar dengan selamat. Karena apa? Karena ayam betina itu cukup lama duduk di atas telur-telur itu, sehingga telur-telur itu itu cukup hangat dan cukup berkembang untuk menetas. Demikian pula halnya bhikkhu yang telah mengerahkan diri untuk pengembangan meditatif pikirannya.

Misalnya, para bhikkhu, seorang tukang kayu mempunyai sebuah kapak dan pegangannya menunjukkan tanda-tanda jari-jari dan ibu jarinya. Dia tidak akan mengetahui seberapa banyak keausan pegangan kapak pada hari ini, seberapa banyak kemarin dan seberapa banyak di waktu-waktu lain; tetapi dia akan mengetahui apa yang telah aus. Demikian pula bhikkhu yang mengerahkan diri untuk pengembangan meditatif pikirannya. Walaupun dia tidak mengetahui seberapa banyak noda yang telah terhapus hari ini, seberapa banyak yang terhapus kemarin dan seberapa banyak di waktu-waktu lain, tetapi dia mengetahui apa yang telah terkikis.

Misalnya, para bhikkhu, ada perahu yang menuju ke lautan, yang dilengkapi tali-tali. Setelah terkena air selama enam bulan, perahu itu ditarik ke pantai selama musim dingin. Maka tali-tali yang sudah terpengaruh angin dan sinar matahari itu, bila basah karena air hujan, akan mudah rusak dan melapuk. Demikian pula bhikkhu yang mengerahkan diri untuk pengembangan meditatif pikirannya: belenggu-belenggunya akan mudah kendor dan melapuk.

(VII, 67)

150. Singkatnya Kehidupan

Dahulu kala, para bhikkhu, hiduplah seorang guru agama bernama Araka, yang bebas dari nafsu indera. Dia mempunyai beratus-ratus murid, dan inilah doktrin yang diajarkannya kepada mereka:

“Sungguh pendek kehidupan manusia, para brahmana, sungguh terbatas dan singkat; kehidupan ini penuh dengan penderitaan, penuh dengan pusaran. Hal ini harus dipahami dengan bijaksana. Orang harus melakukan hal yang baik dan menjalani kehidupan yang murni; karena tak seorang pun yang telah terlahir dapat lolos dari kematian.

“Seperti halnya setetes embun di ujung rumput akan lenyap dengan cepat pada saat matahari terbit dan tidak akan berumur panjang; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia ini bagaikan setetes embun. Kehidupan ini pendek, terbatas dan singkat; kehidupan ini penuh dengan penderitaan, penuh dengan pusaran. Hal ini harus dipahami dengan bijaksana. Orang harus melakukan hal yang baik dan menjalani kehidupan yang murni; karena tak seorang pun yang telah terlahir dapat lolos dari kematian.

“Seperti halnya, ketika hujan turun dari langit dalam tetesan-tetesan besar, gelembung yang muncul di permukaan air akan lenyap dengan cepat dan tidak akan berumur panjang; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia ini bagaikan gelembung air. Kehidupan ini pendek … karena tak seorang pun yang telah terlahir dapat lolos dari kematian.

“Seperti halnya sebuah garis yang digoreskan di atas air dengan tongkat akan lenyap dengan cepat dan tidak akan berumur panjang; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia ini bagaikan garis yang digoreskan di atas air. Kehidupan ini pendek … karena tak seorang pun yang telah terlahir dapat lolos dari kematian.

“Seperti halnya aliran sungai di gunung, yang datang dari jauh, mengalir dengan cepat, membawa banyak sampah bersamanya, tidak akan diam sesaat pun, sedetik pun, sekejap pun, dan akan terus bergerak, berputar dan mengalir maju; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia ini bagaikan aliran sungai di gunung. Kehidupan ini pendek … karena tak seorang pun yang telah terlahir dapat lolos dari kematian.

“Seperti halnya seorang pria yang kuat dapat membentuk segumpalan ludah di ujung lidahnya dan meludahkannya keluar dengan mudah; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia bagaikan segumpal ludah. Kehidupan ini pendek … karena tak seorang pun yang telah terlahir dapat lolos dari kematian.

“Seperti halnya sepotong daging yang dibuang ke dalam panci besi yang dipanaskan sepanjang hari akan terbakar habis dengan cepat dan tidak akan bertahan lama; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia bagaikan sepotong daging. Kehidupan ini pendek … karena tak seorang pun yang terlahir dapat lolos dari kematian.

“Seperti halnya seekor sapi yang disembelih akan dibawa ke tempat penyembelihan, setiap kali satu kakinya diangkat dia akan lebih dekat dengan kematian; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia bagaikan ternak yang dibawa untuk disembelih; kehidupan ini pendek, terbatas, dan singkat. Kehidupan penuh dengan penderitaan, penuh dengan pusaran. Hal ini harus dipahami dengan bijaksana. Orang harus melakukan hal yang baik dan menjalani kehidupan yang murni: karena tak seorang pun yang telah terlahir dapat lolos dari kematian.”

Tetapi pada saat itu, para bhikkhu, masa hidup manusia adalah 60.000 tahun, dan pada usia 500 tahun gadis-gadis dapat dinikahkan. Pada zaman itu jenis penyakit yang dimiliki orang hanya ada enam: kedinginan, kepanasan, kelaparan, kehausan, tahi dan kencing. Walaupun orang-orang hidup amat lama dan memiliki amat sedikit penderitaan, guru Araka memberikan ajaran seperti itu kepada para muridnya: “Sungguh pendek kehidupan manusia ….”

Tetapi sekarang, para bhikkhu, orang dapat dengan benar mengatakan: “Sungguh pendek kehidupan manusia…”; karena sekarang ini orang yang panjang umur pun hanya hidup selama 100 tahun atau sedikit lebih. Dan sekalipun hidup selama 100 tahun, itu hanyalah 300 musim: 100 musim dingin, 100 musim panas dan 100 musim hujan. Sekalipun hidup selama 300 musim, itu hanyalah 1.200 bulan: 400 bulan musim dingin, 400 bulan musim panas dan 400 bulan musim hujan. Sekalipun hidup selama 1.200 bulan, itu hanyalah 2.400 dua-mingguan: 800 dua-mingguan musim dingin, 800 dua-mingguan musim panas dan 800 dua-mingguan musim hujan.

Dan sekalipun hidup selama 2400 dua-mingguan, itu hanyalah 36.000 hari: 12.000 hari di musim dingin, 12.000 hari di musim panas dan 12.000 hari di musim hujan. Dan sekalipun hidup selama 36.000 hari, dia hanya makan 72.000 makanan: 24.000 makanan di musim dingin, 24.000 makanan di musim panas dan 24.000 makanan di musim hujan. Dan ini termasuk mengambil susu ibu dan masa-masa tanpa makanan. Inilah masa-masa tanpa makanan: ketika kacau atau sedih atau sakit, ketika menjalankan puasa atau ketika tidak mendapat apa pun untuk dimakan.

Para bhikkhu, demikianlah aku telah menghitung kehidupan orang yang umurnya 100 tahun: batas masa hidupnya, jumlah musimnya, jumlah tahun, bulan dan dua mingguannya, jumlah siang dan malamnya, jumlah makanan dan masa-masa tanpa makanan.

Apa pun yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru yang penuh kasih sayang yang, karena welas asihnya, mencari kesejahteraan bagi para siswanya, itulah yang sudah kulakukan untuk kalian. Inilah akar-akar pohon, O para bhikkhu, inilah gubuk-gubuk yang kosong. Bermeditasilah, para bhikkhu, janganlah lalai, kalau tidak demikian, kalian akan menyesal di kemudian hari. Inilah instruksi kami kepada kalian.

(VII, 70)

151. Ajaran Sang Guru

Pada suatu ketika YM Upali mendekati Yang Terberkahi.22 Setelah tiba, dia menghormat Beliau dan duduk di satu sisi dan berkata:

“Bhante, akan merupakan hal yang baik jika Yang Terberkahi mengajari saya Dhamma secara ringkas sehingga setelah mendengarkan Dhamma dari Yang Terberkahi, saya dapat hidup sendiri, menarik diri, rajin, gigih dan mantap.”

“Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: ‘Hal-hal ini tidak membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana’ -dari ajaran-ajaran seperti itu engkau bisa merasa yakin: Ini bukan Dhamma; ini bukan Vinaya; ini bukan Ajaran Sang Guru.’

“Tetapi Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: ‘Hal-hal ini membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana’ -dari hal-hal semacam itu engkau bisa merasa yakin: Inilah Dhamma; inilah Vinaya; inilah Ajaran Sang Guru.’ ”

(VII, 79)

Catatan

1 Kata “persepsi” (sañña) di sini digunakan dalam pengertian tema untuk perenungan. AA: “Persepsi-persepsi ini dijelaskan sebagai ‘berlandaskan pada Tanpa-Kematian’ (amatogadha) karena dibentuk pada Nibbana; seperti ‘memuncak pada Tanpa-Kematian (amatapariyosana), karena persepsi-persepsi ini berakhir di Nibbana.”

2 Persepsi tentang sifat menjijikkan (asubhasañña) didefinisikan di Teks 196 §3 sebagai perenungan tentang tiga puluh satu bagian tubuh. Penjelasan secara rinci yang diberikan dalam “kewaspadaan yang ditujukan pada tubuh” (kayagata sati), terdapat di Vism VIII, 42-144. Metode penjelasan di setiap bagian berikutnya menyerupai Teks 118, walaupun isi dan bentuk aktualnya berbeda.

3 Persepsi tentang kematian (maranasañña), atau “kewaspadaan terhadap kematian” (maranassati), diberikan di Teks 173 dan 174, dan secara rinci di Vism VIII, 1-41; lihat juga Teks 150. Penting diingat bahwa persepsi tentang kematian, yaitu nasib yang tak dapat dihindari semua makhluk, harus menuju pada realisasi Tanpa-Kematian, yang merupakan tujuan terbesar.

4 Ahare patikkulasañña. Untuk detilnya, lihat Vism XI, 1-26.

5 Sabbaloke anabhiratasañña; dijelaskan di Teks 196 §8.

6 Aniccasañña. Untuk dua versi, lihat Teks 196 §1, 9.

7 Tentang “bentukan-Aku, bentukan-milikku dan kesombongan”, lihat Bab III, no. 9. “Tiga diskriminasi” (tisso vidha) adalah pemikiran, “Aku lebih baik, Aku setara, Aku lebih jelek’; lihat Teks 127.

8 Brahmacari patijanati. Kata brahmacari berarti aspiran spiritual di dalam pengertian secara umum, tetapi secara khusus berarti orang yang menjalankan kehidupan selibat, seperti halnya bramacariya berarti kehidupan suci pada umumnya dan juga kehidupan selibat.

9 AA: “Dia melampauinya dengan cara memperoleh jalan mulia lewat pandangan terang yang kuat, yang disebut sebagai ‘tanpa-kesenangan’.”

10 Mahamoggallana adalah siswa utama kedua Sang Buddha; “maha” merupakan sebutan penghargaan yang berarti “besar”. Sutta ini diucapkan pada waktu beliau masih berusaha mencapai tingkat arahat, yang dicapai setelah seminggu berupaya secara keras, segera setelah memasuki Sangha. Menurut AA, beliau dengan tekun melaksanakan meditasi berjalan, sehingga ketika duduk bermeditasi, beliau merasa amat mengantuk. Sutta ini dimasukkan ke dalam Kelompok Tujuh karena mencakupkan tujuh cara untuk mengusir kelambanan, tetapi beristirahat untuk tidur juga dimasukkan sebagai hal kedelapan bila semua cara lainnya gagal.

11 Di MN 37 pertanyaan yang sama ini diajukan oleh Sakka, raja para dewa, dan Sang Buddha menjawab dengan cara yang sama seperti bacaan teks kami berikutnya.

12 Sabbe dhamma nalam abhinivesaya; harafiahnya, “Segala hal tidak cocok untuk dilekati.” AA: “‘Dilekati’ lewat nafsu keinginan (tanha) atau pandangan salah (ditthi). ‘Segala hal’ adalah lima khandha, dua belas landasan indera dan delapan belas elemen (khandha, ayatana, dhatu).” AT: “Ini adalah bidang pandangan terang (vipassana), yang di sini memang relevan.”

13 “Dia langsung mengetahui segala sesuatu” (sabbam dhammam abhijanati). AA: Ini mengacu pada ‘pemahaman lengkap tentang apa yang diketahui’ (ñatapariñña); yaitu, pengetahuan tentang objek sehubungan dengan sifatnya, fungsinya, manifestasinya dan kondisi-kondisinya.” Di peta Theravada klasik tentang sang jalan, “pengetahuan langsung” (abhiñña) sesuai dengan “definisi nama-dan-rupa” dan “pemahaman tentang kondisi-kondisi” (lihat Vism Bab XVIII dan XIX).

“Dia sepenuhnya memahami segala sesuatu” (sabbam parijanati). AA: “Ini mengacu pada ‘pengetahuan lengkap lewat penelitian yang cermat’ (tirana pariñña), pemeriksaan segala sesuatu melalui tiga sifat (ketidakkekalan, penderitaan, tanpa-diri).” Ini sesuai dengan “pengetahuan lewat pemahaman dalam kelompok”; lihat Vism Bab XX.

Perenungan tentang ketidakkekalan, dll. Juga disebutkan di bagian terakhir kelompok empat mengenai kewaspadaan akan pernafasan; lihat Teks 196 §10. Keempatnya ini juga termasuk dalam kelompok tujuh perenungan yang menjadi penting di literatur tentang penjelasan (lihat Vism XX, 4; XXI, 14-18). Tiga tambahan yang tidak disebutkan di sini adalah perenungan-perenungan tentang penderitaan, tanpa-diri, dan perubahan.

14 AA: “Khotbah ini ditujukan pada Moggallana sebagai nasihat praktis (untuk mengatasi rasa mengantuk) dan sebagai instruksi tentang pandangan terang. Dengan mengikuti khotbah ini, Moggallana menguatkan pandangan terang di dalam dirinya, dan sesudahnya dia mencapai tingkat arahat.” Hal ini terjadi satu minggu setelah pentahbisannya.

15 Di Ee, melalui kekeliruan editorial, sutta ini dianggap sebagai kelanjutan dari yang sebelumnya. Di Be dan AA, sutta ini dicetak dengan betul sebagai sutta yang terpisah.

16 “Jangan takut pada perbuatan-perbuatan yang berjasa!” AT: “Sehubungan dengan perbuatan-perbuatan berjasa yang harus senantiasa dilakukan para bhikkhu, yaitu pengendalian tubuh dan ucapan, menjalankan tugas-tugas vihara, pengendalian indera, pengendalian-pikiran melalui praktek-praktek petapa, praktek meditasi, membangkitkan energi -setelah mempraktekkannya untuk waktu yang lama, para bhikkhu seharusnya tidak takut pada perbuatan-perbuatan yang berjasa. Mereka seharusnya tidak takut kalau-kalau perbuatan-perbuatan itu akan menghalangi kebahagiaan langsung di masa kini. Perbuatan-perbuatan yang berjasa ini akan memberikan kebahagiaan Nibbana di masa mendatang; dengan demikian mereka seharusnya tidak takut pada perbuatan-perbuatan yang berjasa.”

17 Beliau telah mengembangkan jhana-jhana dengan cinta kasih sebagai subjek meditasinya, dan dengan demikian dia tidak kembali “ke dunia ini”, ke dunia lingkup-indera (kamaloka). Satu aeon (kappa – lihat Bab IV no. 52) dibagi menjadi dua fase utama, yaitu satu fase pengembangan kosmik dan satu fase pengerutan. Selama tujuh aeon itu beliau telah berdiam di alam bentuk yang agung.

18 Mengenai dewa-dewa Cahaya Yang Mengalir, lihat Bab IV, no. 54. Selama periode pengerutan-dunia, semua alam di bawah alam dewa-dewa Cahaya Yang Mengalir hancur dan para makhluk biasanya terlahir kembali di alam ini (lihat Teks 190 §3). Ketika dunia mulai muncul kembali, alam-Brahma muncul dahulu, dan makhluk pertama yang terlahir di sana adalah Mahabrahma, maharaja di sistem alam. Surga Tavatimsa, yang dipimpin oleh Sakka, merupakan surga kedua dari alam lingkup-indera. Dengan demikian, dibandingkan Mahabrahma, Sakka berada jauh di bawahnya dalam hirarki kosmik.

19 Secara harafiah, dasi adalah budak wanita. Untungnya, di dalam kebudayaan Buddhis tiga model istri sebelumnyalah yang berlaku, dan kita mungkin memahami pujian terhadap istri “seperti budak” di sini hanya dipakai untuk tujuan retoris.

20 Istilah “bhavana” (harafiah: membuat menjadi), yang biasanya diterjemahkan “meditasi,” tidak terbatas pada latihan-latihan metodis dalam konsentrasi mental tetapi mencakup seluruh bidang latihan mental.

21 Tujuh rangkaian ini membentuk tiga puluh tujuh bantuan untuk pencerahan (bodhipakkhiya dhamma). Empat landasan kewaspadaan (satipatthana) adalah: perenungan yang waspada tentang tubuh, perasaan, keadaan-keadaan pikiran dan fenomena mental (lihat SN Bab 47). Empat usaha benar (sammappadhana) dijelaskan di Bab V, no. 10 (lihat SN Bab 49). Empat landasan keberhasilan (iddhipada) adalah empat faktor, yaitu kepuasan, semangat, pemusatan pikiran dan penyelidikan, yang diterapkan berhubungan dengan usaha berkehendak sebagai sarana untuk menguasai konsentrasi (SN Bab 51). Lima kemampuan (indriya) adalah kemampuan keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan (SN Bab 48). Lima kekuatan (bala) identik dengan kemampuan (indriya), tetapi lebih dipandang sebagai kekuatan-kekuatan yang mengatasi perlawanannya, bukan sebagai alat pengendalian (SN Bab 50). Tujuh faktor pencerahan (bojjhanga) adalah kewaspadaan, penyelidikan fenomena, semangat, kegiuran, ketenangan, konsentrasi, dan ketenangseimbangan (SN Bab 46). Jalan Mulia Berunsur Delapan terdiri dari delapan jenis kebenaran, yang dijelaskan di Teks 35 dan 131.

22 Upali adalah spesialis utama mengenai Vinaya, yaitu peraturan keviharaan di dalam Sangha.