ALAGADDUPAMA SUTTA
Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta, 1996
1. Demikianlah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, taman milik Anathapindika, Savatthi.
2. Pada waktu itu suatu pandangan jahat (papa ditthi) telah timbul di dalam diri seorang bhikkhu yang bernama Arittha, yang pada waktu yang lampau adalah seorang pembunuh burung Nasar (Burung Pemakan Bangkai).
Sebagaimana saya mengerti Dhamma diajarkan oleh Sang Bhagava, hal-hal yang disebut penghalang (antarayika) oleh Sang Bhagava adalah tidak dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu.
3. Beberapa bhikkhu setelah mendengar hal ini, menemui Bhikkhu Arittha dan bertanya kepadanya: “Avuso Arittha, apakah benar bahwa ada pikiran jahat muncul dalam dirimu?”
“Benar, para avuso. Sebagaimana saya mengerti Dhamma diajarkan oleh Sang Bhagava, hal-hal yang disebut penghalang (antarayika) oleh Sang Bhagava adalah tidak dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu.
Kemudian, para bhikkhu ini berkeinginan untuk membebaskan dia dari pandangan jahat itu, menekan, bertanya dan menanyai dia berulang kali: “Avuso Arittha, jangan berkata begitu. Jangan salah mengerti mengenai Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak akan mengatakan seperti itu. Karena di dalam banyak khotbah Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana hal-hal penghalang menghalangi, dan bagaimana penghalang-penghalang ini dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu. Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Dengan perumpamaan tengkorak … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan rumput obor … dengan perumpamaan lobang arang … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang dipinjam … perumpamaan pohon sarat dengan buah … perumpamaan rumah jagal … perumpamaan pedang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu.
Namun, walaupun ditekan, ditanya, dan ditanya berulang kali oleh mereka dengan cara ini, Bhikkhu Arittha tetap teguh mempertahankan pandangan jahat itu dan bersikeras berlanjut dengan pandangan itu.
4. Karena para bhikkhu tidak berhasil membebaskannya dari pandangan jahat, maka mereka pergi menemui Sang Bhagava, setelah memberi hormat kepada Beliau, mereka duduk di tempat vang tersedia dan mengatakan kepada Beliau semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Bhante, karena kami tidak dapat membebaskan Bhikkhu Arittha dari pandangan jahat ini, kami melaporkan hal ini kepada Sang Bhagava.”
5. Sang Bhagava berkata kepada seorang bhikkhu: “Bhikkhu, katakan kepada bhikkhu Arittha atas nama Saya bahwa Guru (Sattha) memanggilnya.”
“Ya, Bhante,” jawabnya. Ia pergi menemui Bhikkhu Arittha dan berkata kepadanya: “Avuso Arittha, Guru memanggilmu.”
“Baiklah, avuso,” jawabnya, dan ia pergi menemui Sang Bhagava. Setelah menghormat Beliau, ia duduk di tempat yang tersedia. Kemudian Sang Bhagava bertanya kepadanya: “Arittha, apakah benar bahwa pandangan jahat seperti ini telah muncul dalam dirimu: ‘Sebagaimana saya mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, hal-hal yang disebut penghalang oleh Sang Bhagava adalah tidak dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu’?”
“Benar, Bhante. Sebagaimana saya mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, hal-hal yang disebut penghalang oleh Sang Bhagava adalah tidak dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu.”
6. “Orang yang salah arah, dari siapa anda mengetahui Saya mengajarkan Dhamma dengan cara ini? Orang yang salah arah, dalam banyak khotbah Saya telah menyatakan bagaimana hal-hal penghalang menghalangi, dan bagaimana penghalang-penghalang ini dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu. Saya telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Dengan perumpamaan tengkorak … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan rumput obor … dengan perumpamaan lobang arang … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang dipinjam … perumpamaan pohon sarat dengan buah … perumpamaan rumah jagal … perumpamaan pedang … dengan perumpamaan kepala ular, Saya telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Tetapi anda, orang yang salah arah, telah mengsalah mengertikan Kami dengan penangkapan salahmu dan merusak dirimu sendiri serta menimbun karma buruk: karena ini akan mengantarmu ke kecelakaan dan penderitaan untuk masa yang lama.
7. Selanjutnya, Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, bagaimana pendapat kamu sekalian. Apakah bhikkhu Arittha, menyalakan seberkas kebijaksanaan dalam Dhamma dan Vinaya ini?” “Bagaimana mungkin, Bhante? Tidak, Bhante.”
Ketika hal ini telah dikatakan. Bhikkhu Arittha duduk diam, malu, dengan bahu menurun dan kepala menunduk, menerawang dan tak berkata apa-apa. Kemudian, setelah mengetahui keadaan ini, Sang Bhagava berkata kepadanya: “Orang yang salah arah, anda akan terkenal karena pandangan jahatmu. Saya akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”
8. Selanjutnya, Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah kamu sekalian mengerti Dhamma yang Saya ajarkan seperti Bhikkhu Arittha ini lakukan ketika ia mengsalahartikan Kami dengan pengertiannya yang salah dan melukai dirinya sendiri serta menimbun karma buruk?”
“Tidak, Bhante. Karena di dalam banyak khotbah Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana hal-hal penghalang menghalangi, dan bagaimana penghalang-penghalang ini dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu. Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Dengan perumpamaan tengkorak … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan rumput obor … dengan perumpamaan lobang arang … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang dipinjam … perumpamaan pohon sarat dengan buah … perumpamaan rumah jagal … perumpamaan pedang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu.”
“Baik, para bhikkhu. Baik, karena kamu sekalian mengerti Dhamma yang Saya ajarkan seperti itu. Karena dalam banyak khotbah Saya telah menyatakan bagaimana hal-hal penghalang menghalangi, dan bagaimana penghalang-penghalang ini dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu. Saya telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Dengan perumpamaan tengkorak … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan rumput obor … dengan perumpamaan lobang arang … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang dipinjam … perumpamaan pohon sarat dengan buah … perumpamaan rumah jagal … perumpamaan pedang … dengan perumpamaan kepala ular, Saya telah menyatakan bagimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Tetapi anda, orang yang salah arah, telah mengsalahmengertikan Kami dengan penerimaan salahmu dan merugikan dirimu sendiri serta menimbun karma buruk; karena ini akan mengantarmu ke kecelakaan dan penderitaan untuk masa yang lama.
9. “Para bhikkhu, seseorang yang sibuk dengan pemuasan nafsu indera tanpa keinginan nafsu, tanpa persepsi keinginan nafsu dan tanpa pikiran-pikiran keinginan nafsu – adalah tak mungkin.”
Perumpamaan Ular
10. Para bhikkhu, beberapa orang bodoh belajar Dhamma khotbah-khotbah (sutta-sutta), bait-bait (geyya), eksposisi-eksposisi (veyyakarana), syair-syair (gatha), pernyataan-pernyataan gembira (udana), kata-kata (itivuttaka), cerita-cerita kelahiran (jataka), Dhamma yang menakjubkan (abbhutadhamma) dan tanya-jawab (vedalla) – tetapi setelah mempelajari Dhamma, mereka tidak memeriksa arti dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Tidak memeriksa arti dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka tidak mendapat pengertian sebenarnya dari ajaran-ajaran itu. Sebaliknya mereka belajar Dhamma hanya untuk mencela orang-orang lain dan memenangkan perdebatan, serta mereka tidak mengalami kebaikan dari tujuan mereka belajar Dhamma. Ajaran-ajaran itu, salah diterima oleh mereka, menyebabkan kerugian dan penderitaan yang lama.
Misalnya, ada seorang yang memerlukan ular, mencari ular, mengembara mencari ular, melihat seekor ular besar dan menangkap lingkarannya atau ekornya. Ular itu akan berbalik kepadanya, menggigit tangannya, lengannya atau anggota tubuhnya, dan karena itu ia dapat mati atau mati dengan menderita. Mengapa begitu? Sebab ia salah menangkap ular. Begitu pula, di sini ada beberapa bhikkhu yang salah arah belajar Dhamma …. Ajaran-ajaran itu, salah diterima oleh mereka, menyebabkan kerugian dan penderitaan yang lama.
11. “Para bhikkhu, di sini ada beberapa keluarga (kulaputta) belajar Dhamma – khotbah-khotbah … tanya-jawab – setelah mempelajari Dhamma, mereka memeriksa arti dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Memeriksa arti ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka mendapat pengertian benar dari ajaran-ajaran itu. Mereka tidak belajar Dhamma untuk mencela orang-orang lain dan untuk memenangkan perdebatan, mereka mengalami kebaikan sesuai dengan tujuan mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu telah diterima dengan benar oleh mereka, menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk masa yang lama.
Misalnya, ada seorang yang memerlukan ular, mencari ular, mengembara mencari ular, melihat seekor ular besar dan menangkapnya secara benar dengan tongkat berpenjepit, setelah melakukan seperti itu, ia memegangnya tepat di lehernya. Walaupun ular itu melingkarkan tubuhnya pada tangannya, lengannya atau anggota tubuhnya, tetap ia tidak akan mati atau mati menderita karena perbuatan itu. Mengapa begitu? Sebab ia menangkap ular dengan cara yang benar. Begitu pula, di sini ada beberapa keluarga mempelajari Dhamma …. Ajaran-ajaran itu, telah diterima dengan benar, menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk masa yang lama.
12. “Para bhikkhu, bilamana kamu sekalian mengerti Dhamma yang Saya nyatakan, ingatlah itu sesuai dengan apa adanya; dan bilamana kamu sekalian tidak mengerti apa yang Saya nyatakan, maka tanyalah hal itu pada-Ku atau kepada bhikkhu yang bijaksana.
Perumpamaan Rakit
13. “Para bhikkhu, Saya akan mengajarkan kepadamu Dhamma yang mirip dengan rakit, yang digunakan untuk menyeberang, dan bukan untuk dipegang saja. Dengar dan perhatikanlah dengan baik pada apa yang akan Saya katakan.”
“Ya, Bhante,” jawab para bhikkhu.
“Para bhikkhu, ketika seorang yang melakukan perjalanan di jalan raya melihat sebuah genangan air yang lebar, tepi sisi dari genangan air itu sangat berbahaya dan menakutkan, tepi yang seberang aman dan tidak menakutkan, tetapi apabila di sana tidak ada perahu untuk menyeberanginya atau pula tidak ada jembatan yang dapat dititi dari sini ke sana, hal ini mungkin terjadi padanya: [135] ‘Ini adalah bentangan air yang besar dan lebar, tepi yang sini berbahaya dan menakutkan, tepi yang sana aman dan tidak menakutkan, tetapi di sana tidaklah terdapat sebuah perahu untuk menyeberangkannya atau tidak pula terdapat jembatan untuk dapat dititi dari tepi sini ke tepi sana. Seandai aku, setelah mengumpulkan rumput-rumputan, kayu-kayu, cabang-cabang dan ranting-ranting, daun-daunan dan setelah mengikatnya menjadi sebuah rakit, dengan bergantung pada rakit itu, dan berusaha dengan tangan-tangan serta kaki-kaki, harus dapat menyeberang dengan selamat ke seberang di sana?’ Kemudian, para bhikkhu, orang itu, setelah mengumpulkan rumput-rumput, kayu-kayu, cabang-cabang, ranting-ranting, daun-daunan, setelah mengikat rakit, dengan bergantung pada rakit tersebut berusaha dengan keras dengan tangan-tangan serta kaki-kaki, akan dapat menyeberang dengan selamat ke seberang. Baginya, setelah menyeberang, pergi ke sana, hal ini bisa terjadi: ‘Sekarang, rakit ini sudah sangat berguna bagiku. Aku, dengan menggantungkan pada rakit ini, dan berusaha dengan keras dengan tangan-tangan serta kaki-kakiku, telah menyeberang dengan selamat keseberang sana. Seandai aku sekarang, setelah menaruh rakit itu di atas kepalaku, dan mengangkatnya ke atas pundak-ku, apakah bisa berjalan menurut apa yang ku inginkan?’ Apa yang kamu pikir kan tentang hal ini, para bhikkhu? Apabila orang itu melakukan itu, apa ia melakukan apa yang semestinya dilakukan dengan rakit tersebut?”
“Tidak, Bhante.”
“Para bhikkhu, apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut, demi untuk berbuat apa yang seharusnya diperbuat dengan rakit tersebut? Dalam hal ini, para bhikkhu, mungkin bisa terjadi terhadap orang itu yang telah menyeberang ke sana, ke seberang di sana: ‘Sekarang, rakit ini telah sangat berguna bagiku. Dengan bergantung pada rakit ini dan berusaha dengan kuatnya memakai tangan dan kaki-kakiku, aku telah menyeberang dengan selamanya ke seberang sana. Seandai saya sekarang, setelah menepikan rakit ini di atas tanah kering atau setelah aku menenggelamkannya di bawah air, apakah aku harus melakukan hal itu sesuai dengan keinginanku? Dalam melakukan hal ini, para bhikkhu, orang itu harus melakukan apa yang harus ia lakukan? Dalam melakukan hal ini, para bhikkhu, orang itu harus melakukan apa yang harus ia lakukan dengan rakit tersebut. Sekalipun demikian, para bhikkhu, apakah Dhamma tentang persamaan dengan rakit yang aku ajarkan itu untuk dipakai menyeberang, bukan untuk disimpan atau dipertahankan.”
“Para bhikkhu bilamana kamu sekalian mengetahui Dhamma seperti rakit, kamu sekalian harus meninggalkan hal-hal baik tertentu, apa lagi hal-hal yang buruk.”
15. Para bhikkhu, terdapat keenam pandangan dengan hubungan-hubungan sebab akibat. Apa keenam pandangan itu? Di dalam hubungan ini, para bhikkhu, rata-rata orang yang tidak diberikan instruksi, tidak ambil peduli terhadap hal-hal yang murni, tidak terampil dalam Dhamma dari orang-orang suci, tidak terlatih dalam Dhamma dari orang-orang suci, tidak ambil peduli terhadap orang-orang benar, tidak terampil dalam Dhamma dari orang benar, tak terlatih dalam Dhamma dari orang-orang benar, mengganggap bentuk-bentuk material sebagai: ‘Ini adalah kepunyaanku … ‘ Ia menganggap persepsi menanggapi itu sebagai: ‘Ini adalah aku, ini adalah pribadiku.’ Juga pandangan apapun dengan hubungan sebab akibat mengatakan: ‘Ini adalah dunia ini adalah pribadi; sesudah kematian aku akan menjadi kekal abadi, tahan lama, kekal, tidak terkena hukum perubahan, [136] aku akan berdiri tegak seperti masuk ke dalam alam kekal, ‘ia menganggap ini sebagai: ‘Ini adalah kepunyaanku, ini adalah pribadiku.’
16. Para bhikkhu, tetapi siswa yang telah diberikan instruksi tentang hal-hal murni, memperhatikan hal-hal murni, terampil di dalam Dhamma dari orang-orang suci, terlatih baik-baik di dalam Dhamma dari orang-orang suci; berprihatin terhadap orang-orang benar, terampil di dalam dhamma dari orang-orang benar, terlatih baik-baik di dalam Dhamma dari orang-orang benar, menganggap bentuk-bentuk material sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku, ini bukan aku, ini adalah bukan pribadiku; ‘ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku …’ ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku…’ ia menganggap kecenderungan-kecenderungan kebiasaan sebagai: ‘Mereka ini adalah bukan milikku …; ‘Ia menganggap kesadaran sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini adalah bukan pribadiku.’ Dan juga ia menganggap apapun yang dilihat, didengar, dirasa, dimengerti, dicapai, dicari, direnungkan oleh pikiran sebagai: “ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini adalah bukan pribadiku.’ Juga, pandangan apapun dengan hubungan sebab akibat mengatakan: “Ini dunia ini sangat pribadi, sesudah mati aku akan menjadi permanen, bertahan lama, kekal, tidak patut terkena hukum perubahan, aku akan berdiri tegap seperti masuk kedalam kekekalan, ‘ia menganggap ini sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini adalah bukan pribadiku.’ ia, sambil menganggap demikian sesuatu yang tidak ada, tidak akan menjadi khawatir atau cemas.”
17. “Karena ia memandang hal-hal itu seperti itu, maka ia tidak cemas tentang apa yang non-eksisten.”
18. Ketika hal ini telah diucapkan, seorang bhikkhu berkata seperti ini kepada Sang Bhagava: “Bhante, tetapi apakah tidak muncul kecemasan tentang sesuatu non-eksisten eksternal?”
“Bhikkhu, mungkin ada,” kata Sang Buddha. “Bhikkhu, dalam hal ini, itu terjadi pada seseorang: ‘Apa yang sudah pasti milikku adalah pasti bukan milikku; apa yang mungkin pasti menjadi milikku, sudah pasti tidak ada kesempatan untuk aku peroleh.’ Ia berduka, menangisi, meratapi, memukul-mukul dadanya, dan terjatuh ke dalam kekecewaan. Sekalipun demikian, para bhikkhu, datanglah suatu kecemasan tentang sesuatu obyek yang tidak ada itu.”
19. “Bhante, tetapi apakah bisa terjadi, tidakkah ada kecemasan tentang sesuatu obyek yang tidak ada itu?”
“Bhikkhu, mungkin,” kata Sang Bhagava. “Di dalam hal ini, ia tidak terjadi pada setiap orang: ‘Apa yang sudah pasti milikku adalah pasti bukan milikku (sekarang); apa yang pasti menjadi milikku, pasti tidaklah ada kesempatan untuk menjadi milikku.’ Ia tidak berduka, menangis, meratap, ia tidak memukuli dadanya, ia tidak terjatuh ke dalam kekecewaan. Sekalipun demikian, terjadilah suatu kecemasan tentang sesuatu obyek (sesuatu yang obyektif) yang tidak ada.”
20. “Bhante, tetapi apakah di sana terdapat kecemasan tentang sesuatu yang non-eksisten eksternal?”
“Mungkin saja bisa, bhikkhu,” kata Sang Bhagava. “Para bhikkhu, dalam hal ini pandangan terjadi pada seseorang: ‘Dunia ini sang pribadi; sesudah mati aku akan menjadi permanen, tahan lama, kekal, tidak patut terkena hukum perubahan, aku akan berdiri tegap seperti masuk ke dalam kekekalan.’ Ia mendengarkan Dhamma seperti apa adanya yang diajarkan oleh Sang Tathagata atau oleh seorang siswa dari Tathagata untuk mencabut hingga ke akar-akarnya semua ketetapan, prasangka, kecenderungan dan ketergantungan terhadap pandangan dan hubungan sebab akibat, untuk menenangkan semua aktivitas-aktivitas, untuk melenyapkan semua kemelekatan, untuk menghancurkan nafsu atau keinginan keras, untuk menghilangkan nafsu-nafsu, mengadakan penghentian-penghentian, Nibbana. Tetapi ia tidak terjadi padanya demikian: ‘Aku pasti akan dimusnahkan, aku pasti akan dimusnahkan, aku pasti akan dihancurkan, aku pasti akan tidak ada.’ Oleh sebab itu maka ia tidak berduka, tidak menangis, tidak meratap, tidak memukul-mukul dadanya, ia tidak terjatuh ke dalam putus asa. Demikianlah, bhikkhu, maka tidak terdapatlah kecemasan tentang sesuatu yang subyektif yang tidak ada itu.
Para bhikkhu, apakah kamu dapat memegang beberapa hak milik, hak-hak milik mana yang menjadi kekal, bertahan lama, abadi, tidak patut terkena hukum perubahaan, yang dapat berdiri tegap sepertinya masuk ke dalam kekekalan itu? Tetapi apakah kamu, para bhikkhu, melihat bahwa hak milik itu adalah materi yang akan menjadi permanen, tahan lama, kekal tidak patut terkena hukum perubahan, yang akan berdiri tegap seperti hendak masuk ke dalam kekekalan itu?”
“Tidak, Bhante.”
“Baik, para bhikkhu. Akupun tidak, para bhikkhu, melihat bahwa harta milik itu adalah materi yang permanen, tahan lama, kekal, tidak patuh terkena hukum perubahan, yang akan berdiri tegak bagaikan mau masuk ke dalam kekekalan. Dapatkah kamu, para bhikkhu menangkap pemahaman terori tentang pribadi, sedemikian sehingga dengan menangkap teori tersebut tentang pribadi tidak kekal akan timbul kedukaan, penderitaan, kesengsaraan, ratap tangis, putus asa, tetapi apakah kamu, para bhikkhu, melihat bahwa pemahaman teori tersebut tentang pribadi, dari hasil pemahaman atau penangkapan teori tentang pribadi, disana tidak akan timbul kedukaan, penderitaan, kesengsaraan, ratap tangis, putus asa.”
“Tidak, Bhante.”
“Baik, para bhikkhu. Akupun tidak, para bhikkhu, melihat bahwa pemahaman teori tentang pribadi dari pemahaman mana tidak bakal akan timbul, kedukaan, penderitaan, kesengsaraan, ratap tangis, putus asa. Dapatkah kamu, para bhikkhu, bergantung pada ketergantungan pandangan, menggantungkan diri pada ketergantungan pandangan tidak bakal akan timbul kedukaan, penderitaan kesengsaraan, ratap tangis, putus asa? Tetapi apakah kamu, para bhikkhu, melihat bahwasanya bergantung pada pandang … putus asa?”
“Tidak, Bhante.”
“Baik, para bhikkhu. Akupun tidak, para bhikkhu, melihat bahwa bergantung pada pandangan dengan bergantung pada ketergantungan pandangan (138), tidaklah bakal timbul kedukaan, penderitaan, kesengsaraan, ratap tangis, putus asa. Apabila, para bhikkhu, di sana terdapat pribadi dapatlah dikatakan: ‘Ia termasuk ke dalam pribadiku?'”
“Ya, Bhante.”
“Atau, para bhikkhu, apakah di sana terdapat apa yang termasuk ke pribadi, dapatkah dikatakan: ‘Ia adalah pribadiku?’ ”
“Ya, Bhante.”
“Tetapi apabila Pribadi, para bhikhu, dan apa yang termasuk ke Pribadi, walaupun sebenarnya ada, tidak dapat dipahami, adalah bukan pandangan serta hubungan sebab akibat bahwa: ‘Ini adalah dunia ini adalah pribadi, sesudah kematian aku akan menjadi permanen, tahan lama, kekal, tidak patut terkena hukum perubahan, aku akan berdiri tegap seperti akan masuk ke dalam kekekalan’- adalah bukan demikian, para bhikkhu, kebodohan total sempurna?”
“Bhante, bagaimana bisa tidak menjadi kebodohan total sempurna?”
“Apa yang kamu pikirkan tentang hal ini, para bhikkhu, apakah bentuk material itu kekal atau tidak kekal?”
“Tidak kekal, Bhante.”
“Tetapi apa yang tidak kekal itu menyenangkan atau menyakitkan?”
“Menyakitkan, Bhante.”
“Tetapi apakah pantas untuk menganggap bahwa apa yang tidak kekal itu, menyakitkan, patut terkena hukum perubahan, sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah pribadiku?’ ”
“Tidak, Bhante.”
“Apa yang kamu pikirkan tentang ini, para bhikkhu: apakah perasaan … persepsi… kecenderungan-kecenderungan kebiasaan itu kekal atau tidak kekal? Apa yang kamu pikirkan tentang ini, para bhikkhu: Apakah kesadaran itu kekal atau tidak kekal?”
“Tidak kekal, Bhante.”
“Sesuatu yang tidak kekal itu menyakitkan atau menyenangkan?”
“Menyakitkan, Bhante.”
“Tetapi apakah pantas untuk menganggap yang tidak kekal, menyakitkan, patut terkena hukum perubahan sebagai, ‘Ini adalah kepunyaanku, ini adalah aku, ini adalah pribadiku?’ ”
“Tidak, Bhante.”
“Mengapa, para bhikkhu, bentuk materi apapun, yang lalu, yang akan datang, sekarang, subyektif atau obyektif, [139] kasar maupun lembut, buruk atau baik, apakah ia jauh dekat-semua bentuk-bentuk materi haruslah dilihat sedemikian dengan kebijaksanaan intuitif yang sempurna sebagaimana ia sebenarnya: Ini adalah bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan peribadiku. Perasaan apapun … persepsi apapun … kecenderungan-kecenderungan kebiasaan apapun … kesadaran apapun, baik yang lampau, yang akan datang, sekarang, subyektif maupun obyektif, kasar maupun lembut, buruk atau baik, apakah ia berada jauh atau dekat – semua kesadaran haruslah dilihat sedemikian oleh kebijaksanaan intuitip nan sempurna sebagaimana ia sebenarnya: Ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini bukan pribadiku.”
“Para bhikkhu, seorang siswa yang telah diberikan pelajaran oleh orang-orang suci, dengan melihat cara demikian itu, tidak menganggap bentuk-bentuk materi, tidak menganggap perasaan, tidak menganggap persepsi, tidak menganggap kecenderungan-kecenderungan kebiasaan, tidak menganggap kesadaran; dengan tidak menganggap itu, maka ia adalah tidak bernafsu; melalui jalan tidak mempunyai nafsu (maka) ia terbebaskan; di dalam kebebasan pengetahuan datanglah keadaan bahwasannya ia telah terbebas, dunia memahami: kelahiran dihancurkan, kelana-brahmana di bawah mendekatinya, apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, tidak ada lagi yang akan menjadi ini dan itu.”
“Para bhikkhu, bhikkhu semacam itu dikatakan telah mengangkat penghalang, dunia dikatakan telah mengisi lubang besar menganga, dan ia dikatakan telah menarik atau mencabut pilar, dan ia dikatakan telah menarik keluar baut-baut, dan ia dikatakan telah menjadi orang suci, bendera dikibarkan rendah-rendah, beban telah diturunkan, tanpa penggoda penggoda.””Para bhikkhu, bagaimana apakah seorang bhikkhu telah mengangkat penghalang itu? Dalam hubungan ini, para bhikkhu, kebodohan telah diletakkan oleh bhikkhu itu, dipotong habis hingga ke akar-akarnya, dibuat seperti pohon palem yang tumpul, dibuat sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi bisa ada diwaktu yang akan datang, tidak dapat untuk timbul lagi. Dalam cara demikian, para bhikkhu, seorang bhikkhu menjadi seseorang yang telah mengangkat atau menyisihkan halangan itu.”
“Para bhikkhu, bagaimana, seorang bhikkhu bisa menjadi seorang yang telah mengisi penuh-penuh sebuah lubang besar menganga itu? Dalam hubungan ini, para bhikkhu, menjadi-sekali lagi, berkelana di dalam kelahiran-kelahiran bisa dilenyapkan oleh bhikkhu itu, dipotong hingga ke akar-akarnya, dibuat seperti pohon palem yang tumpul, dibuat sedemikian hingga tidak akan lagi bisa ada diwaktu yang akan datang. Dalam cara demikian, para bhikkhu, seorang bhikkhu menjadi seorang yang telah mengisi penuh-penuh lubang besar yang menganga itu.”
“Para bhikkhu, bagaimana seorang bhikkhu bisa menjadi seorang yang telah menarik keluar baut itu? Dalam hubungan ini, para bhikkhu, kelima buah penggoda-penggoda yang mengikat yang lebih rendah dapat dilenyapkan oleh bhikkhu itu … dibuat sedemikian sehingga ia tidak lagi dapat ada di waktu yang akan datang, tidak lagi dapat timbul. Dalam cara demikian, para bhikkhu, seorang bhikkhu bisa menjadi seorang yang telah menarik ke luar baut-baut itu.”
“Para bhikkhu, bagaimana seorang bhikkhu sampai bisa menjadi suci, bendera dikibarkan rendah-rendah, beban diturunkan, tanpa penggoda-penggoda? Di dalam hubungan ini, para bhikkhu, kesombongan tentang ‘Aku’ haruslah dilenyapkan oleh bhikkhu itu, dipotong hingga ke akar-akarnya, dibuat seperti pohon palem tumpul, dibuat sedemikian sehingga ia tidak lagi bisa ada di waktu yang akan datang, [140] tidak bisa timbul lagi. Dalam cara ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menjadi suci, bendera dikibarkan rendah, beban diturunkan, tanpa penggoda-penggoda.”
“Para bhikkhu, apabila pikiran dari bhikkhu telah terbebaskan demikian para deva-mereka dengan Inda, mereka dengan Brahma, mereka dengan Pajapati, tidak akan berhasil dalam pencarian mereka apabila mereka berpikir: ‘Ini adalah kesadaran diskriminatif yang melekat kepada Tathagata. Apa alasan untuk hal ini? Aku, para bhikkhu, mengatakan di sini dan sekarang bahwa seorang Tathagata tak dapat ditelusuri.”
“Para bhikkhu, walaupun Saya adalah seorang yang berbicara demikian, yang menunjukkan demikian, di sana terdapatlah beberapa pertapa dan Brahmana yang salah mewakili diri-ku secara sadar tidak benar, samar-samar, palsu, tidak sesuai dengan kenyataan, dan mereka berkata: ‘Petapa Gotama adalah seseorang nihilis, Beliau mengatakan untuk memotong, menghancurkan, dan tidak lagi boleh munculnya kesatuan kehidupan. Tetapi seperti ini, para bhikkhu, adalah justru aku tidak demikian, seperti inilah yang justru Aku tidak mengatakannya, oleh sebab tidak benar, samar-samar, palsu, dan tidak selaras dengan kenyataan ketika mereka berkata; ‘Petapa Gotama adalah seorang nihilis, Ia menggariskan (peraturan) untuk memutus, penghancuran, menyebabkan tidak bisa munculnya kembali kesatuan penghidupan. Dahulunya aku, para bhikkhu, seperti juga halnya sekarang, sekedar menurunkan peraturan tentang adanya kesengsaraan serta penghentian kesengsaraan itu. Apabila, berkenaan dengan ini, para bhikkhu, yang lain-lain meyumpahi, memaki, menjengkelkan Sang Tathagata, di dalam diri Sang Tathagata tidak terdapat kejengkelan, tidak ada kesedihan, tidak ada ketidakpuasan pikiran berkenaan dengan mereka itu.”
“Para bhikkhu, apabila berkenaan dengan ini, orang-orang lain memuja, menghargai, menghormat serta menjunjung tinggi Sang Tathagata, di dalam diri Sang Tathagata tidaklah terdapat rasa gembira, tidak terdapat rasa senang, tidak ada kegirangan dari pikiran berkenaan dengan mereka itu. Apabila, berkenaan dengan ini, para bhikkhu, orang-orang lain memuja, menghormat, menghargai, serta menjunjung tinggi Sang Tathagata, terjadilah pada Sang Tathagata, para bhikkhu, berkenaan dengan mereka: ‘Ini adalah apa yang dahulunya telah diketahui dengan seksama, jenis tugas-tugas semacam itu harus di kerjakan olehku. Untuk alasan mana, para bhikkhu, sekalipun apabila orang-orang lain harus mencaci maki, mencela dengan kasar, menjengkelkan kamu, seharusnyalah pada dirimu tiada ada kebencian, kesusahan, ketidakpuasan pikiran terhadap mereka. Dan dengan alasan apa, para bhikkhu, sekalipun orang-orang lain akan memuja dirimu, menghormat, menghargai, memuliakan dirimu, seharusnya di dalam dirimu tiada ada kesenangan, kegembiraan, pikiran yang membengkak berkenaan dengan mereka. Dan dengan alasan apa, para bhikkhu, sekalipun apabila orang-orang lain akan memuja, menghormat, memandang tinggi, memuliakan dirimu, haruslah terjadi pada dirimu: “Ini adalah apa yang dahulunya telah diketahui dengan seksama tugas-tugas semacam itu haruslah dikerjakan oleh kita.”
“Para bhikkhu, dengan alasan apa, apa yang bukan milikmu, enyahkanlah. Dengan mengenyahkan itu akan menjadi lama bagi kesejahteraan serta kebingungan-mu. Dan apa, para bhikkhu, apa-apa yang bukan milikmu itu? Bentuk materi, para bhikkhu, adalah bukan milikmu, enyahkanlah, dengan mengenyahkan itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaanmu. Perasaan, para bhikkhu, adalah bukan milikmu; [141] enyahkanlah, dengan mengenyahkannya akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaan bagimu. Pencerapan atau persepsi, para bhikkhu, adalah bukan milikmu; enyahkanlah, dengan mengenyahkan itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagianmu. Kecenderungan-kecenderungan yang merupakan kebiasaan, para bhikkhu, adalah bukan milikmu; enyahkanlah mereka itu, dengan mengenyahkannya itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaan bagimu. Kesadaran adalah bukan milikmu; enyahkanlah mereka itu, dengan mengenyahkan itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaan bagimu. Kesadaran adalah bukan milikmu; enyahkanlah serta kebahagiaan bagimu. Apa yang kamu pikirkan tentang ini, para bhikkhu? Apabila seseorang akan berkumpul atau membakar atau akan berbuat sesuatu yang ia senangi dengan rumput, ranting-ranting, cabang-cabang serta daun-daun di dalam Hutan Jeta ini, apakah akan terjadi padamu: orang itu akan mengumpulkan kita, akan membakar kita, ia akan berbuat apa yang ia senangi terhadap kita?”
“Tidak, Bhante. Apa alasan untuk ini? Bhante, sesungguhnya, adalah bukan pribadi kita juga bukan termasuk pribadi.”
“Para bhikkhu, sekalipun demikian, apa yang bukan milikmu, enyahkanlah mereka itu; dengan mengenyahkan mereka itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaan bagimu. Dan apa, para bhikkhu, yang bukan milikmu itu? Bentuk-bentuk materi, para bhikkhu, adalah bukan milikmu; enyahkanlah mereka itu, dengan mengenyahkan mereka itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaanmu: Perasaan, persepsi, kecenderungan-kecenderungan yang merupakan kebiasaan … kesadaran, para bhikkhu, adalah bukan milikmu, enyahkanlah, dengan mengenyahkan mereka itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaanmu.”
“Para bhikkhu, jadi dengan demikian, Dhamma telah aku babarkan dengan baiknya, dibuat jelas, terbuka, diperkenalkan, dibukakan jalannya untuk dapat dipahami. Dikarenakan Dhamma telah diajarkan dengan sempurna oleh-Ku sedemikian, dibuat jelas, dibuka, dibuat untuk diperkenalkan, dibuka jalannya untuk dipahami, para bhikkhu itu yang merupakan orang-orang sempurna mereka, melakukan apa yang harus kelahiran, menurunkan bebannya, mencapai satu-satunya tujuan mereka, penggoda dari kelahiran telah dihancurkan dengan seksama (sama sekali telah dihancurkan), yang telah terbebaskan oleh pengetahuan agung yang sempurna itu jejak atau jalan ini tidak bisa dipertajam lagi.”
“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah dibabarkan dengan baiknya oleh-ku … dibuka untuk dapat dipahami. Disebabkan Dhamma telah diajarkan oleh-Ku dengan baiknya sedemikian itu … dibuka untuk dapat dipahami, para bhikkhu didalam diri mana kelima penggoda-penggoda yang telah mengikat lebih rendah telah dilenyapkan kesemuanya ini. Adalah terdiri dari timbulnya yang mendadak, mereka itu adalah pencapaian nibbana disana, tidak lagi patut terkenan hukum untuk kembali dari dunia itu.”
“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah diajarkan dengan baiknya oleh-ku … dibuka untuk dipahami. Para bhikkhu itu di dalam mana ketika macam penggoda-penggoda telah dilenyapkan, di dalam mana kemelekatan, keengganan serta kekacauan telah dikurangi, mereka itu semuanya adalah yang menjadi orang-orang kembali satu kali saja yang, setelah kembali ke dalam dunia ini sekali, akan mengakhiri penderitaan.”
“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah diajarkan dengan baiknya oleh-ku … ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan. Disebabkan Dhamma telah diajarkan dengan baiknya olehku sedemikian …. ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan, bhikkhu-bhikkhu tersebut di mana di dalam diri mereka ketiga penggoda-penggoda telah dilenyapkan, semuanya adalah merupakan pencapai-pencapai arus [142] yang, tidak lagi terkena hukum kejatuhan, telah pasti, terikat untuk bangkit kembali.”
“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah diajarkan dengan baiknya oleh-ku … ditelanjangi dari kekaburan-kekaburannya. Disebabkan Dhamma telah diajarkan dengan baiknya oleh-ku sedemikian … ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan, semua dari bhikkhu bhikkhu itu yang telah berusaha dengan keras untuk dhamma, berusaha untuk kepercayaan adalah terikat untuk bangkit.”
“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah diajarkan dengan baiknya olehku, dibuat jelas, dibuka, dibuat untuk diperkenalkan, ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan. Disebabkan Dhamma telah diajarkan dengan baiknya olehku, dibuat jelas, dibuka, dibuat untuk dapat dikenal, ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan, semua dari mereka yang mempunyai cukup kepercayaan kepadaku, cukup banyak kasih sayang, akan terikat untuk mendapatkan sorga.”
Demikian kata-kata dari Sang Bhagava. Para bhikkhu menjadi senang dan gembira dengan apa yang dikatakan Sang Bhagava.