Diterjemahkan dari bahasa Pali oleh Bhikkhu Bodhi
III. SUB BAB KE TIGA
(KELOMPOK LIMA MĀRA)
21 (1) Sekelompok
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di antara suku Sakya, di Silāvatī. Pada saat itu, sekelompok bhikkhu sedang berdiam tidak jauh dari Sang Bhagavā—tekun, rajin, dan teguh. Kemudian Māra si Jahat mengubah wujudnya menjadi seorang brahmana, dengan ikatan rambut besar, berjubah kulit rusa, tua, bongkok bagaikan rangka atap, terengah-engah, memegang tongkat terbuat dari kayu udumbara.302 Ia mendekati para bhikkhu itu <260> dan berkata kepada mereka: “Kalian, Yang Mulia, telah meninggalkan keduniawian sejak muda, pemuda dengan rambut hitam, memiliki anugerah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan, tanpa bermain-main dengan kenikmatan indria. Nikmatilah kenikmatan indria manusia, Yang Mulia; jangan lepaskan apa yang terlihat secara langsung demi mengejar apa yang memerlukan waktu yang lama.”303 “Kami belum melepaskan apa yang terlihat secara langsung, Brahmana, demi mengejar apa yang memerlukan waktu yang lama. Kami telah melepaskan apa yang memerlukan waktu yang lama demi mengejar apa yang terlihat secara langsung. Karena Sang Bhagavā, Brahmana, telah menyatakan bahwa kenikmatan-indria adalah membuang-buang waktu, penuh penderitaan, penuh keputusasaan, dan bahaya di dalamnya adalah lebih besar, sedangkan Dhamma ini adalah terlihat secara langsung, seketika, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat dipraktikkan, untuk dialami melalui pengalaman pribadi oleh para bijaksana.” [118] Ketika hal ini diucapkan, Māra si Jahat menggelengkan kepalanya, menjulurkan lidahnya, mengerutkan keningnya dalam tiga kerutan, dan pergi dengan bersandar pada tongkatnya.304 Kemudian para bhikkhu itu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan segalanya. <261> [Sang Bhagavā berkata:] “Dia bukanlah seorang brahmana, Para bhikkhu. Dia adalah Māra si Jahat, yang datang untuk mengacaukan kalian.”
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami makna dari peristiwa ini, pada kesempatan itu mengucapkan syair ini: <262>
488. “Bagaimana mungkin seseorang condong pada kenikmatan indria Baginya yang telah melihat sumber dari mana penderitaan muncul? Setelah mengetahui perolehan sebagai suatu ikatan di dunia ini, Seseorang harus berlatih melenyapkannya.” [119]
22 (2) Samiddhi
Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di antara suku Sakya, di Silāvatī. Pada saat itu, Yang Mulia Samiddhi sedang berdiam tidak jauh dari Sang Bhagavā—tekun, rajin, dan teguh.305 Kemudian, ketika Yang Mulia Samiddhi sendirian dalam keheningan, suatu perenungan muncul dalam pikirannya sebagai berikut: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh menguntungkan bagiku, bahwa guruku adalah Sang Arahanta, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna! Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh menguntungkan bagiku, bahwa aku telah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin! Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh menguntungkan bagiku, bahwa teman-temanku dalam kehidupan suci ini begitu bermoral, bersikap baik!” Kemudian Māra si Jahat, setelah mengetahui perenungan dalam pikiran Yang Mulia Samiddhi dengan pikirannya sendiri, mendekatinya, dan tidak jauh darinya, mengeluarkan suara keras, menakutkan dan mengerikan, <263> seolah-olah bumi terbelah.306 Kemudian Yang Mulia Samiddhi mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang terjadi. [Sang Bhagavā berkata:] “Itu bukan bumi terbelah, Samiddhi. Itu adalah Māra si Jahat, yang datang untuk mengacaukanmu. Kembalilah, Samiddhi, dan berdiamlah dengan tekun, rajin, dan teguh.” “Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Samiddhi menjawab. [120] Kemudian ia bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, ia pergi dari sana. Untuk ke dua kalinya, ketika Yang Mulia Samiddhi sendirian dalam keheningan, suatu perenungan muncul dalam pikirannya…. Dan untuk ke dua kalinya, Māra si Jahat … <264> … mengeluarkan suara keras, menakutkan dan mengerikan, seolah-olah bumi terbelah. Kemudian Yang Mulia Samiddhi, setelah memahami, “Ini adalah Māra si jahat,” berkata kepadanya dalam syair:
489. “Aku telah meninggalkan keduniawian dengan penuh keyakinan Dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Perhatian dan kebijaksanaanku telah matang, Dan pikiranku terkonsentrasi baik. Ciptakanlah bentuk apa pun yang engkau inginkan, Tetapi engkau tidak akan pernah membuatku gemetar.”307
Kemudian, Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhu Samiddhi mengenaliku,” sedih dan kecewa, lenyap dari sana.
23 (3) Godhika
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu, Yang Mulia Godhika sedang berdiam di Batu Hitam, di Lereng Isigili. Kemudian, selagi Yang Mulia Godhika sedang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh, <265> ia mencapai pembebasan batin sementara, namun ia jatuh dari pembebasan batin sementara itu.308 Untuk ke dua kalinya, selagi Yang Mulia Godhika sedang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh, ia mencapai pembebasan batin sementara, namun ia jatuh dari pembebasan batin sementara itu. Untuk ke tiga kalinya … Untuk ke empat kalinya … [121] … untuk ke lima kalinya … Untuk ke enam kalinya, selagi Yang Mulia Godhika sedang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh, ia mencapai pembebasan batin sementara, namun ia jatuh dari pembebasan batin sementara itu. Untuk ke tujuh kalinya, selagi Yang Mulia Godhika sedang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh, ia mencapai pembebasan batin sementara. Kemudian Yang Mulia Godhika berpikir: “Sudah enam kali aku jatuh dari pembebasan batin sementara. Biarlah aku menggunakan pisau.”309 <266>
Kemudian Māra si Jahat, setelah mengetahui perenungan dalam pikiran Yang Mulia Godhika dengan pikirannya sendiri, mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair-syair ini:310
490. “O, Pahlawan besar, luas dalam kebijaksanaan, Menyala dengan kekuatan dan kemenangan! Aku menyembah kaki-Mu, yang memiliki penglihatan, Yang telah mengatasi segala permusuhan dan ketakutan.
491. “O, Pahlawan besar yang telah menaklukkan kematian, Siswa-Mu menginginkan kematian. Ia berniat [untuk membunuh dirinya sendiri]: Cegahlah ia dari hal ini, O, Yang Bersinar!
492. “Bagaimana mungkin, Bhagavā, siswa-Mu— Seorang yang bergembira dalam Ajaran, Seorang siswa yang mencari yang terbaik bagi batinnya— Membunuh dirinya sendiri, O ,Yang Termasyhur luas?”311
Pada saat itu, Yang Mulia Godhika telah menggunakan pisau itu.312 Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” berkata kepadanya dalam syair:
493. “Demikianlah sesungguhnya bagaimana yang teguh bertindak: Mereka tidak melekat pada kehidupan. <267> Setelah mencabut keinginan hingga ke akarnya, Godhika telah mencapai Nibbāna akhir.”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Marilah, Para bhikkhu, kita pergi ke Batu Hitam, di Lereng Isigili, di mana Godhika menggunakan pisaunya.” “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan sejumlah bhikkhu, pergi ke Batu Hitam, di Lereng Isigili. Dari jauh Sang Bhagavā melihat Yang Mulia Godhika terbaring di tempat tidur dengan bahunya terbalik.313 [122] Pada saat itu, segumpal asap, pusaran kegelapan, sedang bergerak dari timur, kemudian ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, ke bawah, dan ke bidang-bidang di antaranya. Sang Bhagavā kemudian berkata kepada para bhikkhu: “Apakah kalian lihat, Para bhikkhu, bahwa segumpal asap, pusaran kegelapan, bergerak dari timur, kemudian ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, ke bawah, dan ke bidang-bidang di antaranya?” “Ya, Yang Mulia.” “Itu, Para bhikkhu, adalah Māra si Jahat yang sedang mencari kesadaran Godhika, bertanya-tanya: ‘Di manakah sekarang <268> kesadaran Godhika muncul?’ Akan tetapi, Para bhikkhu, dengan kesadaran yang tidak muncul di mana pun, Godhika telah mencapai Nibbana akhir.”314 Kemudian Māra si Jahat, membawa kecapi dari kayu vilva-kuning, mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:
494. “Ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling, Di empat penjuru dan di antaranya, Aku mencari tetapi tidak menemukan Ke mana Godhika telah pergi.”
[Sang Bhagavā:]495. “Orang yang teguh tidak tergoyahkan, Seorang meditator selalu gembira dalam meditasi, Mengerahkan dirinya siang dan malam Tanpa kemelekatan bahkan pada hidupnya.
496. “Setelah menaklukkan bala tentara Kematian, Tidak kembali ke kehidupan baru, Setelah mencabut keinginan hingga ke akarnya, Godhika telah mencapai Nibbāna akhir.” <269>
497. Begitu banyak ia didera oleh kesedihan Sehingga kecapinya jatuh dari ketiaknya. Lalu makhluk yang kecewa itu Lenyap dari tempat itu.315
24 (4) Tujuh Tahun Pencarian
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Uruvelā, di tepi Sungai Nerañjarā, di bawah pohon Banyan Penggembala. Pada saat itu, Māra si Jahat telah mengikuti Sang Bhagavā selama tujuh tahun, mencari peluang untuk menguasai-Nya tetapi tidak berhasil.316 Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair: [123] 498. “Apakah karena Engkau tenggelam dalam kesedihan Maka Engkau bermeditasi di dalam hutan? Karena Engkau kehilangan harta atau menginginkan harta, Atau melakukan kejahatan di desa? Mengapa Engkau tidak bergaul dengan orang-orang? <270> Mengapa Engkau tidak menjalin hubungan akrab?”
[Sang Bhagavā:]499. “Setelah mencabut seluruhnya akar kesedihan, Tanpa kesalahan, Aku bermeditasi bebas dari kesedihan. Setelah memotong segala keserakahan akan kehidupan,317 Aku bermeditasi tanpa noda, O, Kerabat kelengahan!”
[Mara:]500. “Yang mereka katakan ‘Ini milikku’, Dan mereka yang mengatakan sebagai ‘milikku’ Jika pikiranmu ada di antara hal-hal ini, Engkau tidak mungkin menghindar dariku, Petapa.”
[Sang Bhagavā:]501. “Apa yang mereka katakan adalah bukan milik-Ku, Aku bukanlah satu di antara mereka yang mengatakan [milik-Ku]. Engkau harus mengetahui demikian, O, Penjahat: Bahkan Jalan-Ku tidak terlihat olehmu.”
[Mara:]502. “Jika Engkau telah menemukan Sang Jalan, Jalan aman menuju Keabadian, <271> Pergilah dan jalani Jalan itu sendirian; Apa gunanya mengajarkan orang lain?”
[Sang Bhagavā:]503. “Orang-orang itu yang pergi ke pantai seberang Bertanya apa yang ada di alam setelah kematian. Ketika ditanya, Aku menjelaskan kepada mereka Kebenaran tanpa perolehan.”318
[Mara:] “Andaikan, Yang Mulia, tidak jauh dari sebuah desa atau kota terdapat sebuah kolam teratai di mana hidup seekor kepiting.319 Kemudian sekelompok anak-anak laki-laki dan perempuan meninggalkan desa atau kota itu dan pergi ke kolam tersebut. Mereka mengeluarkan kepiting itu dari air dan meletakkannya di atas tanah yang tinggi. Kemudian, ketika kepiting itu mengangkat salah satu capit atau kakinya, anak-anak itu akan memotongnya, memecahkannya, dan memukulnya dengan kayu dan batu. Demikianlah, ketika semua capit dan kakinya telah terpotong, pecah, dan hancur, kepiting itu tidak bisa lagi kembali ke kolam itu. <272> Demikian pula, Yang Mulia, semua penyimpangan, muslihat, perubahan pada diriku telah terpotong, [124] pecah, dan hancur oleh Sang Bhagavā. Sekarang, Yang Mulia, aku tidak mampu lagi mendekati Bhagavā untuk menguasaiNya.”Kemudian Māra si Jahat melantunkan syair kekecewaan ini di hadapan Sang Bhagavā:320
504. “Ada seekor burung gagak yang berjalan ke sana kemari Sebongkah batu yang terlihat seperti sebongkah daging. ‘Mari cari bagian yang lunak di sini,’ [ia berpikir,] ‘Mungkin ada yang lezat.’
505. Tetapi karena ia tidak menemukan apa pun yang lezat di sana, Burung gagak itu pergi dari tempat itu. Bagaikan burung gagak itu yang diserang dengan batu, Kami meninggalkan Gotama dengan kecewa.” <273>
25 (5) Putri-putri Māra
Kemudian Māra si Jahat, setelah mengucapkan syair kekecewaan di hadapan Sang Bhagavā, pergi dari tempat itu dan duduk bersila di atas tanah tidak jauh dari Sang Bhagavā, diam, cemas dengan bahu turun, putus asa, merenung, tidak mampu berkata-kata, menggores tanah dengan sebatang tongkat.321 Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—mendekati Māra si Jahat dan berkata kepadanya dalam syair:322
506. “Mengapa engkau bersedih, Ayah? Siapakah orang yang membuatmu berduka? Kami akan menangkapnya dengan jerat nafsu Seperti mereka menangkap gajah hutan. Kami akan mengikatnya erat dan membawanya kembali, Dan ia akan berada di bawah kekuasaanmu.”323
[Mara:]507. “Sang Arahanta, Yang Sempurna di dunia ini, Tidaklah mudah ditarik dengan menggunakan nafsu. Ia telah pergi meninggalkan alam Māra: Oleh karena itu, aku berduka dengan pahit.” <274>
Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada-Nya: “Kami melayani-Mu, Petapa.” Tetapi Sang Bhagavā tidak memperhatikan, karena Beliau terbebas dalam padamnya perolehan yang tiada bandingnya.324 Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—pergi ke pinggir dan berembuk: “Selera laki-laki berbeda-beda. Bagaimana jika masing-masing dari kita menjelma menjadi bentuk seratus bidadari.” [125] Kemudian ketiga putri Māra itu, masing-masing mengubah wujudnya menjadi seratus bidadari, mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Kami melayani-Mu, Petapa.” Tetapi Sang Bhagavā tidak memperhatikan, karena Beliau terbebas dalam padamnya perolehan yang tiada bandingnya. Kemudian putri-putri Māra pergi ke pinggir dan sekali lagi berembuk: “Selera laki-laki berbeda-beda. Bagaimana jika masing-masing dari kita menjelma menjadi bentuk seratus orang perempuan yang belum pernah melahirkan.” Kemudian ketiga putri Māra itu, masing-masing mengubah wujudnya menjadi seratus perempuan yang belum pernah melahirkan … dalam bentuk seratus orang perempuan yang pernah melahirkan satu kali … <275> … dalam bentuk seratus orang perempuan yang pernah melahirkan dua kali … dalam bentuk seratus orang perempuan setengah tua … dalam bentuk seratus orang perempuan tua, mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada-Nya: “Kami melayani-Mu, Petapa.” Tetapi Sang Bhagavā tidak memperhatikan, karena Beliau terbebas dalam padamnya perolehan yang tiada bandingnya. Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—pergi ke pinggir dan berkata: “Apa yang dikatakan ayah kepada kita adalah benar:”
508. “Sang Arahanta, Yang Sempurna di dunia ini … Oleh karena itu, aku berduka dengan pahit.’
“Jika kita telah menyerang dengan cara demikian terhadap petapa atau brahmana mana pun yang belum melenyapkan nafsu, maka jantungnya akan pecah, atau ia akan memuntahkan darah dari mulutnya, [126] atau ia akan menjadi gila atau menjadi kehilangan akal sehat; atau ia akan mengering dan layu dan mengerut, bagaikan sebatang buluh hijau yang dipotong akan mengering dan layu dan mengerut.” Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—mendekati Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi. <276> Sambil berdiri di satu sisi, Putri Māra bernama Taṇhā berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:
509. “Apakah karena Engkau tenggelam dalam kesedihan Maka Engkau bermeditasi di dalam hutan? Karena Engkau kehilangan harta atau menginginkan harta, Atau melakukan kejahatan di desa? Mengapa Engkau tidak bergaul dengan orang-orang? Mengapa Engkau tidak menjalin hubungan akrab?”
[Sang Bhagavā:]510. “Setelah menaklukkan bala tentara kesenangan dan kenikmatan, Bermeditasi sendirian, Aku menemukan kebahagiaan, Pencapaian tujuan, kedamaian batin.325 Oleh karena itu, Aku tidak bergaul dengan orang-orang, Juga, Aku tidak menjalin hubungan akrab.”
Kemudian putri Māra bernama Arati berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair: <277>
511. “Bagaimanakah seorang bhikkhu di sini sering berdiam Bahwa, lima banjir telah terseberangi, di sini ia menyeberangi yang ke enam? Bagaimanakah ia bermeditasi sehingga persepsi indria Dipojokkan dan tidak dapat mencengkeramnya?”326
[Sang Bhagavā:]512. “Tenang dalam jasmani, dalam pikiran yang terbebaskan sepenuhnya, Tidak menghasilkan, penuh perhatian, tanpa rumah, Mengetahui Dhamma, bermeditasi yang bebas-pikiran, Ia tidak meledak, atau hanyut, atau kaku.327
513. “Ketika seorang bhikkhu di sini sering berdiam demikian, Dengan lima banjir terseberangi, ia di sini menyeberangi yang ke enam. Ketika ia bermeditasi demikian, persepsi indria Dipojokkan dan tidak dapat mencengkeramnya.” [127]
Kemudian putri Māra bernama Rāga berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair: <278>
514. “Ia telah memotong keinginan, mengembara dengan kelompoknya; Tentu saja banyak mahkluk akan menyeberang. Aduh, Yang Tanpa Rumah ini akan merampas banyak orang. Dan membawa mereka melampaui Raja Kematian.”328
[Sang Bhagavā:]515. “Sungguh Para Tathāgata, para pahlawan besar, Dituntun oleh Dhamma sejati. Ketika mereka menuntun dengan Dhamma sejati, Kecemburuan apakah yang ada dalam diri mereka yang mengerti?”329
Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—mendekati Māra si Jahat. Māra melihat mereka datang dari jauh dan berkata kepada mereka dalam syair-syair:330
516. “Bodoh! Kalian mencoba untuk menyerang gunung Dengan tangkai bunga teratai, Menggali gunung dengan kukumu, Mengunyah besi dengan gigimu. <279>
517. “Seolah-olah, setelah mengangkat batu dengan kepalamu, Engkau mencari tempat berpijak di jurang; Seolah-olah engkau menabrak tunggul dengan dadamu, Engkau meninggalkan Gotama dengan kecewa.”
518. Mereka mendatangi Beliau, gemerlap dengan kecantikan— Taṇhā, Arati, dan Ragā— Tetapi Sang Guru menyapu mereka dari sana Bagaikan angin, gumpalan kapas jatuh. <280>